Open Innovation: Berkolaborasi untuk Menjadi Unggul (Bagian 1)

Open Innovation: Berkolaborasi untuk Menjadi Unggul (Bagian 1)

Inovasi merupakan salah satu faktor kunci yang mendorong dampak positif terhadap perkembangan daya saing suatu organisasi. Banyak penelitian yang sudah menjelaskan bahwa inovasi adalah suatu alat bagi organisasi untuk bisa bertahan dalam persaingan, bertumbuh bahkan menjadi pemimpin dalam industri.

Inovasi didefinisikan sebagai keberhasilan ekonomi dan sosial berkat adanya pengenalan cara baru atau kombinasi baru dari cara-cara lama dalam mentransformasi input menjadi output yang menghasilkan perubahan besar dalam perbandingan antara nilai guna yang dipersepsikan oleh konsumen atas manfaat suatu produk dan harga yang ditetapkan oleh produsen (De Meyer dan Garg, 2005 dan Fontana, 2011).

Dalam kegiatan berinovasi, tidak sedikit organisasi yang memiliki prinsip bahwa “kesuksesan inovasi sangat tergantung kepada kendali organisasi itu sendiri”. Organisasi yang berprinsip itu cenderung untuk senantiasa mengusahakan sumber daya dan kapabilitas inovasinya secara mandiri.

Chesbrough (2003) mendefinisikan organisasi-organisasi tersebut sebagai organizations with closed innovation model, di mana mereka hanya mengandalkan sumber daya dan kapabilitas internal dalam hal menyelenggarakan rantai nilai inovasinya. Mulai dari pengembangan ide, proses konversi ide menjadi produk, komersialisasi dan pemasaran produknya. Organisasi dengan prinsip berinovasi mandiri ini akan berinvestasi besar-besaran untuk riset internal, memperkerjakan sumber daya manusia yang kompeten dan mengakuisisi teknologi yang terbaik. Tentunya semua ini membutuhkan modal yang sangat besar.

Pada awalnya, menurut Chesbrough (2003), model yang diterapkan ini menghasilkan kinerja inovasi yang baik. Sebut saja beberapa perusahaan yang masuk Fortune 500 pernah menggunakan prinsip ini. Namun sejalan dengan perkembangan waktu, di mana era keterbukaan informasi mulai tumbuh, prinsip ini tidak relevan lagi.

Semua organisasi memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan kapabilitas yang dibutuhkan dalam berinovasi sehingga akhirnya hanya organisasi-organisasi yang “kuat” berinvestasi saja yang bisa mengakses bahkan mengakuisisi sumber daya tersebut. Bagi perusahaan-perusahaan perintis maupun yang medioker tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri.

Namun rupanya tidak semua perusahaan kuat tersebut juga dapat sukses dalam berinovasi. Tidd dan Bessant (2018) menegaskan bahwa untuk mendapatkan kesuksesan inovasi hanya berdasarkan kepada sumber daya dan kapabilitas inovasi internal saja tidaklah cukup. Hal ini terkait dengan kemungkinan adanya risiko atas proses berinovasi, optimalisasi ide, relevansi atas produk atau jasa yang dihasilkan dengan kebutuhan pengguna dan keterbatasan sumber daya organisasi yang dimiliki.

Tidak jarang terjadi proses berinovasi terhenti akibat faktor-faktor tersebut (Kanter, 2006). Beberapa organisasi mengalami kondisi paceklik ide, atau terlalu banyak ide tanpa apa yang terealisasi (sindrom negeri 100 bunga) atau bahkan mengalami masalah karena keusangan kapabilitas inovasi (ketidaksesuaian kompetensi SDM) dengan perkembangan kebutuhan pengguna (Hansen dan Birkinshaw, 2007).

Terlebih lagi saat ini dunia memasuki era Industri 4.0, di mana pada era ini terjadi proses otomatisasi atas aktivitas operasional di berbagai industri khususnya bidang manufaktur, dengan pemanfaatan modern smart technology yang mengurangi intervensi manusia. Sebagai contoh adalah pemanfaatan machine-to-machine communication (M2M) berskala besar dan internet of things (IoT). Dampaknya, organisasi lebih mudah untuk berkolaborasi dan berbagi data di antara pelanggan, produsen, pemasok, dan pihak lain dalam rantai pasokan.

Di era 4.0 ini, organisasi dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing lebih cepat. Hal ini memberikan peluang untuk mencapai pertumbuhan dan keberlanjutan secara ekonomi dengan catatan organisasi bersedia membuka diri dengan bekolaborasi bersama pihak lain, baik itu dengan pemangku kepentingan bahkan dengan pesaingnya.

Hal tersebut sebenarnya sudah diprediksi oleh Chesbrough (2003) yang menjelaskan bahwa prinsip inovasi secara mandiri (tertutup) ini sudah tidak relevan lagi. Diperlukan adanya suatu kolaborasi antarpihak yang berkepentingan dalam berinovasi. Agar mendapatkan kinerja inovasi yang baik, organisasi perlu membuka diri untuk kerja sama dan atau kemitraan dengan pemangku kepentingan atau bahkan dengan pesaingnya.

bersambung….

*Tulisan ini telah tayang di Majalah Manajemen Edisi No. 4 Tahun 2021

Riza Aryanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *