Menyiasati Tsunami Efisiensi
Triwulan pertama 2023 menunjukkan sinyal cerah bangkitnya kembali roda perekonomian seiring dengan “menghilangnya” pandemi. Data-data John Hopkins per 16 Februari 2023, di negara kita terdapat sebaran 219 kasus baru dengan angka rata-rata 7 (tujuh) hari sebanyak 217 kasus. Alhasil bukan hal yang mustahil jika kondisi pandemi secara resmi akan dicabut di tahun ini.
Meskipun demikian, bukan berarti badai telah berlalu. Sebagai akibat dari krisis yang berkepanjangan, bangkitnya roda perekonomian tidak dapat terjadi begitu saja. Layaknya sebuah mesin lokomotif, untuk dapat menjalankan mesin secara optimal, diperlukan tahapan “pemanasan” terlebih dahulu. Ironisnya, tahapan ini membutuhkan pengorbanan yang luar biasa.
Sekilas mari kita gunakan analogi perhitungan laba-rugi, di mana secara sederhana sebuah laba diidentifikasi dengan selisih antara pendapatan dengan semua beban. Di satu sisi perusahaan dihadapkan pada daftar antrian beban yang harus segera diselesaikan seperti pelunasan utang, pembayaran bunga, pembayaran upah karyawan hingga pelunasan kewajiban perusahaan kepada pemerintah dalam bentuk pembayaran pajak. Namun di lain sisi, sejak awal tahun ini ada banyak perusahaan yang juga mengalami kesulitan dalam mencetak pendapatan.
Pasar belum sepenuhnya pulih, daya beli konsumen masih terbatas, begitu kiranya ungkapan yang penulis simpulkan dari hasil diskusi dengan beberapa pelaku sektor energi. Terbayang jelas bagaimana manajemen perusahaan harus berhadapan dengan situasi di mana besar pasak daripada tiang.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Melansir data-data yang disajikan Tempo (11/02), fenomena ini terjadi di pelbagai perusahaan dunia. Platform pertukaran cryptocurrency coinbase yang sangat terkenal ini pada Juni 2022 lalu telah memberhentikan 18% karyawannya. Catatan berikutnya adalah Twitter yang pada medio November 2022 lalu telah memberhentikan hampir setengah dari karyawan globalnya. Langkah yang sama juga dilakukan oleh Meta (Facebook) pada bulan yang sama. Setidaknya 13% karyawan harus resign sebagai jawaban dari tuntutan efisiensi. Kebijakan ini tak ayal bahkan telah menurunkan dua per tiga nilai perusahaan.
Lalu bagaimana dengan situasi di Negara tercinta? Sebelas dua belas dengan situasi global, di sektor startup misalnya, tidak sedikit pemain yang harus memilih untuk segera melakukan efisiensi, bahkan dengan menghentikan operasionalnya di Indonesia. Mereka adalah Bananas Indonesia, yang bergerak dalam bisnis jasa penyedia kebutuhan sehari-hari. Setelah hampir setahun beroperasi, pada Oktober 2022 lalu mereka harus mengangkat bendera putih. Hal yang sama juga dilakukan oleh JD.ID yang diberitakan menghentikan layanan secara permanen pada 31 Maret 2023.
Tak berhenti di situ, Binar Academy, Fabelio, GoTo, GrabKitchen dan Ruangguru juga terpaksa memilih opsi efisiensi besar-besaran ini. Sungguh sesuatu yang ironis, mengingat setahun sebelumnya, pemain-pemain tersebut sempat menghuni kolom headline di pelbagai media massa sebagai pencipta pertumbuhan ekonomi global. Pertanyaannya adalah, apakah langkah tersebut cukup efektif dalam mempertahankan eksistensi perusahaan di masa sulit ini?
Sejenak mari kita daratkan konsep valuasi bisnis untuk mengurai problem tersebut. Merujuk pada metode discounted cash flow (DCF), ukuran utama kinerja perusahaan dapat diterjemahkan dalam perhitungan valuasi bisnisnya. Di mana valuasi itu sendiri ditentukan oleh 2 (dua) variabel yakni arus kas bebas (sebagai pembilang) dan biaya modal (sebagai penyebut). Artinya, untuk meningkatkan valuasi bisnisnya, manajemen perusahaan mempunyai dua opsi.
Pertama adalah menambah arus kas masuk (melalui peningkatan kekuatan pasar agar menjamin sisi pertumbuhan penjualan seraya di saat yang sama juga melakukan efisiensi biaya operasi). Selanjutnya opsi kedua adalah meningkatkan efisiensi biaya modalnya. Ini akan dibuktikan dengan upaya mempertahankan atau bahkan menurunkan besaran biaya modalnya.
Sekarang mari kita cermati kelayakan dari dua opsi tersebut. Untuk opsi pertama (peningkatan pertumbuhan penjualan), sebagian dari kita pasti sepakat dengan premis awal dalam artikel ini. Daya beli konsumen belum sepenuhnya pulih. Mereka pun mengalami masalah dari sisi pendapatannya. Sehingga perlahan namun pasti, kondisi ini berhasil membangun sebuah lingkaran yang sulit diputus. Rendahnya daya beli tersebut spontan akan menciptakan kesulitan bagi perusahaan untuk mencetak pertumbuhan secara signifikan.
Lalu bagaimana dengan opsi kedua (penurunan biaya modal)? Secara sederhana, biaya modal meningkat ketika kebutuhan modal meningkat sehingga perusahaan seakan tak punya daya tawar menawar kepada penyedia dana. Alhasil untuk menguraikan benang kusut ini kuncinya lagi-lagi ada pada sisi efisiensi. Manajemen harus berani memutuskan untuk kembali ke bisnis utamanya. Maka konsekuensinya tak lain adalah dengan menutup bisnis-bisnis di luar core competency-nya. Langkah ini seakan memberi jeda waktu bagi manajemen untuk bernafas dalam jangka pendek.
Tak seorangpun yang dapat memprediksi kapan hal ini akan berhenti. Namun yang pasti, kita perlu mengedepankan daya inovasi demi menciptakan sebuah kekuatan untuk bertahan. Para karyawan harus secara konsisten mengasah keterampilan entrepreneurship maupun intrapreneurship-nya agar siap dalam menghadapi cuaca apapun yang terjadi dalam perekonomian kita. Teruslah bersemangat hai para pejuang Rupiah, yakinlah badai pasti berlalu!
Salam dan doa terbaik dari kami di Pojok Pengkolan Menteng – Jakarta.
*Tulisan ini dimuat di SWA Online