Menjadi Manusia Pembelajar bagi Masa Depan Organisasi

Menjadi Manusia Pembelajar bagi Masa Depan Organisasi

Untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan, organisasi harus memiliki kemampuan untuk mengantisipasi perubahan serta beradaptasi dengan cepat dengan merespons perubahan pasar dan teknologi untuk kepentingan jangka panjang.

Organisasi yang siap menghadapi masa depan pun harus terus mengembangkan kompetensi baru untuk terus berinovasi.

Gravett dan Caldwell (2016) menjelaskan, dalam hal kemampuan untuk mengembangkan kompetensi baru tersebut, organisasi perlu mendorong anggotanya untuk  memiliki ketangkasan dalam belajar (learning agility) yaitu kemampuan individu untuk belajar dari pengalaman dan cepat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Ketangkasan dalam belajar terdiri dari beberapa komponen, seperti kemampuan untuk mengambil risiko, berpikir kritis, beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, belajar dari pengalaman, berkomunikasi dengan baik, dan memimpin dengan efektif.

Dalam tulisan lain, DaRue et al. (2012) menjelaskan, bahwa ketangkasan dalam belajar (learning agility) adalah kemampuan bagi individu untuk secara cepat mengembangkan perilaku baru yang efektif berdasarkan pengalaman baru dan dengan mudah berpindah dari satu ide ke ide lain.

Individu yang memiliki  fleksibilitas untuk menganalisa situasi dari banyak perspektif dan kecepatan mempelajari hal-hal baru. Individu ini juga memiliki fleksibilitas dan kecepatan dalam hal  kemampuan untuk memadukan keterampilan baru dengan kemampuan mereka saat ini dan pada saat yang sama juga mampu melepaskan keterampilan yang tidak efektif dengan segera.

Individu yang memiliki learning agility akan mampu belajar dengan cepat dari pengalaman baru, memperoleh wawasan baru, dan menggunakan informasi tersebut untuk meningkatkan kinerja mereka.

Harapannya, dengan ketangkasan belajar tersebut organisasi akan mampu menyesuaikan diri agar tetap relevan dan berdaya saing di pasar yang semakin kompetitif.  Hal ini dijelaskan dalam hasil penelitian dari IBM (2010) yang memperlihatkan adanya korelasi antara learning agility dengan; (i) pertumbuhan bisnis, (ii) efisiensi biaya, (iii) peningkatan brand image, (iv) produktivitas dan (v) solusi yang inovatif.

Menurut  Eichinger,et al. (2010) serta Gravett dan Caldwell (2016), ada lima tipe learning agility yang harus dimiliki individu dalam organisasi yaitu :

  1. Mental Agility, mengacu pada individu yang merasa nyaman dengan kompleksitas, memeriksa masalah dengan hati-hati, dan membuat hubungan antara yang hal-hal yang berbeda.
  2. People Agility, merujuk pada individu yang mengenal diri mereka dengan baik dan bisa dengan mudah menghadapi dan beradaptasi dengan beragam orang dan situasi yang sulit.
  3. Change Agility, merujuk pada individu yang suka bereksperimen dan dapat mengatasi dengan efektif dampak atau pengaruh perubahan yang cepat.
  4. Result Agility, mengacu pada orang-orang yang banyak akal (resourceful) yang bisa memberikan hasil sesuai yang diharapkan dan memiliki dampak yang signifikan.
  5. Situasional Self-Awareness, kemampuan individu dalam mengenali dirinya sendiri termasuk kelebihan dan kelemahannya.

Organisasi yang siap menghadapi masa depan harus memiliki budaya yang mendukung individu untuk memiliki learning agility. Budaya yang terbuka terhadap perubahan yang mendorong individu untuk terus belajar dan mengembangkan diri mereka sendiri.

Selain itu, organisasi juga harus memiliki sistem pengembangan yang terstruktur dan terprogram dengan baik, sehingga individu dapat mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk bekerja di masa depan.

Lebih lanjut, Kucia dan Gravett (2014) menjelaskan bahwa jika learning agility menjadi suatu budaya di organisasi maka para individu dalam organisasi akan :

  1. Memiliki kemampuan untuk menguasai konsep-konsep dan pendekatan-pendekatan aktivitas (contoh implementasi suatu model bisnis baru) dengan lebih cepat
  2. Memiliki kemampuan membangun komunitas pembelajar yang berkesinambungan dalam organisasi yang berkontribusi bagi kerja organisasinya

Berikut ini adalah contoh dari inisiatif untuk menerapkan budaya belajar di organisasi :

  1. Memastikan pemahaman kepada individu bahwa pembelajaran adalah bagian integral dari pekerjaan, dan bahwa organisasi mendukung dan menghargai upaya-upaya untuk belajar dan berkembang.
  2. Mendorong individu untuk belajar secara mandiri dengan memberikan akses ke sumber daya dan materi belajar yang mudah diakses . Misalnya dengan memberikan akses ke perpustakaan digital, forum diskusi daring, dan pelatihan daring.
  3. Memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam tugas yang menantang, di mana individu dapat memperoleh pengalaman baru dan belajar dari kesalahan.
  4. Mendorong individu untuk memperluas jejaringnya. Sebagai contoh, menghadiri acara temu asosiasi industri atau seminar yang relevan.
  5. Memfasilitasi sesi mentoring dan coaching  sehingga individu dapat memperoleh umpan balik dan saran yang konstruktif.
  6. Melaksanakan rotasi pekerjaan atau rotasi unit kerja, yang memungkinkan individu untuk belajar dari pengalaman baru dan memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana organisasi bekerja secara keseluruhan.
  7. Membangun sistem penghargaan dan pengakuan yang mempromosikan kegiatan belajar dan pengembangan diri, sehingga karyawan merasa dihargai dan termotivasi untuk terus belajar dan berkembang.

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa learning agility menjadi faktor kunci dalam membangun organisasi yang siap untuk masa depan. Organisasi yang memiliki individu-individu dengan kemampuan belajar yang tinggi akan dapat mengembangkan organisasi secara efektif dan menempatkannya di posisi yang tepat untuk memanfaatkan peluang baru yang muncul di masa depan.

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Riza Aryanto

Leave a Reply

Your email address will not be published.