Benarkah Lulusan Perguruan Tinggi Harus Membuka Lapangan Pekerjaan?

Benarkah Lulusan Perguruan Tinggi Harus Membuka Lapangan Pekerjaan?

Pada awal tahun 2000-an, setelah melewati masa krisis ekonomi 1998, banyak sekali pandangan yang meluas di masyarakat Indonesia bahwa seorang lulusan Perguruan Tinggi seharusnya menciptakan lapangan pekerjaan, bukan mencari pekerjaan. Dan bagi lulusan Perguruan Tinggi yang tidak menciptakan lapangan pekerjaan dipandang belum mencapai kondisi “ideal”.

Tidak ada yang tahu awal mula pandangan tersebut muncul, diterima, bahkan dibenarkan oleh banyak masyarakat Indonesia. Tidak pernah ada penelitian mengenai fenomena ini. Hal tersebut tidak salah, meskipun tidak bisa dikatakan benar.

Kenapa dikatakan tidak salah? Karena kondisi setelah krisis 1998 memang mendorong masyarakat Indonesia bersama-sama menyediakan lapangan kerja. Golongan masyarakat pada jenjang pendidikan tertinggi adalah yang paling bertanggungjawab membuka lapangan kerja bagi masyarakat pada jenjang pendidikan yang lebih rendah. Namun, setiap orang itu unik, begitu juga lulusan Perguruan Tinggi bukan berarti memiliki akses dan modal untuk membuka lapangan kerja.

Lantas, apakah yang membuat pandangan tersebut tidak benar? Yaitu seharusnya kita kembali kepada marwah Perguruan Tinggi. Konsep Perguruan Tinggi yang kita kenal sampai hari ini diadopsi dari Constitutio Habita sekitar tahun 1155, di Universitas Bologna, Itali. Isinya mencakup inti pembelajaran di Universitas yaitu Academic Freedom.

Di sana memuat isu kebebasan berpikir dan mengutarakan pendapat tanpa takut akan adanya tekanan dari tindakannya tersebut. Di Indonesia, tujuan Perguruan Tinggi diatur dalam PP 30 Tahun 1990, pasal 2, yaitu: Pertama, mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian serta mengoptimalkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Isi dari PP 30 tahun 1990 pun dicantumkan dalam berbagai buku panduan Perguruan Tinggi di Indonesia. Beberapa poin yang umum ditemukan dalam berbagai buku panduan ini menyebutkan bahwa tujuan Perguruan Tinggi adalah menghasilkan lulusan yang mampu berpikir kritis, mengembangkan pengetahuan, berpikir mandiri.

Sehingga, kalau kita memahami makna dan peran Perguruan Tinggi, dan “jika” masyarakat Indonesia membaca maka seharusnya kita berpandangan: apapun pekerjaan dari lulusan Perguruan Tinggi (apakah menjadi karyawan, pengusaha, artis, peneliti, dosen, pejabat negara, dan lainnya) seharusnya memiliki cara berpikir yang kritis, mandiri, menyebarkan pengetahuan, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Menciptakan lapangan pekerjaan tidak lebih baik dari mencari pekerjaan, dan ini bukan ukuran keberhasilan Perguruan Tinggi menghasilkan lulusannya. Keberhasilan Perguruan Tinggi seharusnya dinilai ketika lulusannya mampu berpikir kritis dan mandiri, apalagi ketika mampu membangun masyarakat disekitarnya. Ada banyak membangun masyarakat ini, dan tidak sebatas menyediakan lapangan kerja.

Mereka yang menjadi karyawan, jadilah karyawan yang kritis. Yang menjadi pengusaha, jadilah pengusaha yang memajukan masyarakat. Yang menjadi pejabat, jadilah pejabat dengan kritis dan menjadi teladan masyarakat.

Bisa jadi pandangan “seharusnya menciptakan lapangan pekerjaan” merupakan harapan masyarakat Indonesia untuk tersedianya lapangan kerja yang luas setelah menghadapi krisis ekonomi 1998. Atau mungkin keinginan masyarakat Indonesia untuk menjadi pengusaha karena penghasilan pengusaha dapat dirasakan sendiri, tidak seperti karyawan yang penghasilannya terbatas atau sama setiap bulannya.

Sayangnya, tingkat literasi masyarakat Indonesia rendah. Di dalam masyarakat yang seperti ini, sebuah isu dapat menyebar cepat karena masyarakatnya menerima informasi tanpa analisa yang kritis, apalagi ketika sebuah isu “dirasa” benar dan nyaman bagi masyarakat. Kebanyakan isu diterima dengan “dirasa”, bukan “dipikir”. Berdasarkan perasaan, dan minim rasionalitas.

Begitu juga dengan frase “Lulusan Perguruan Tinggi Seharusnya Membuka Lapangan Kerja” menyebar cepat tanpa ada sanggahan rasional mengenai peran apa yang seharusnya dijalankan oleh para lulusan Perguruan Tinggi.

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Ricky Virona Martono

Leave a Reply

Your email address will not be published.