Wajarkah Seorang Eksekutif Meminta Pertimbangan AI?

Wajarkah Seorang Eksekutif Meminta Pertimbangan AI?

Saat memberi sesi di sebuah pelatihan untuk para eksekutif beberapa waktu lalu, penulis menemukan kejadian yang cukup unik. Ketika penulis selesai melontarkan pertanyaan, peserta langsung cepat-cepat berselancar di internet.

Awalnya penulis pikir mereka berusaha mencari artikel atau publikasi hasil penelitian terkait, tapi ternyata Google sudah bukan pilihan utama narasumber lagi. Sebaliknya, mereka rata-rata langsung bertanya pada beberapa aplikasi artificial intelligence atau yang lazim disebut dengan AI. Mulai dari chat AI yang gratis hingga yang berbayar.

Hanya dalam hitungan kurang dari lima menit, beberapa peserta sudah sigap untuk melontarkan opininya. Kalimat dan fakta yang diungkapkan pun tidak kaleng-kaleng. Tak jarang bahkan ada yang menunjukkan referensi sebagai dasar pemikirannya. Kelompok peserta ini seakan berusaha untuk meninggalkan peserta lain yang masih sibuk dengan mesin pencari Google.

Melihat fenomena itu penulis berpikir, jangan-jangan saat mengambil keputusan bisnis para top manajemen ini juga akan bertanya ke AI terlebih dahulu.

Dengan rasa ingin tahu yang tinggi, penulis coba lontarkan pertanyaan tersebut. Hasilnya, dari 37 peserta, 22 orang (atau sekitar 59,5%-nya) menegaskan peran AI dalam setiap keputusan yang mereka hasilkan.

Sisanya sekitar 40,5% masih menggunakan pola konvensional. Lalu seraya ingin menyelami pemikirannya, penulis melontarkan pertanyaan klasik kedua, “Sebegitu signifikankah peran AI dalam diri seorang manajemen puncak di perusahaan?”

Spontan mereka pun menjawab dengan serempak, ”Sangat signifikan Pak”.

Dialog dalam sesi pelatihan tersebut menyisakan sebuah pertanyaan bagi penulis. Pertanyaan itu berusaha melihat dari sisi kewajaran metode itu. Sebab bukankah dalam mengambil keputusan biasanya manajemen puncak akan ditemani oleh tim yang memikirkan segala konsekuensinya.

Ketika tengah berusaha untuk mencernanya dengan saksama, salah seorang dari peserta pelatihan itu kemudian bercerita tentang bagaimana AI sangat membantunya dalam merumuskan iklan yang tepat sasaran.

Dalam penuturannya, ia mengatakan bahwa setiap pertimbangan yang dulu selalu disiapkan oleh timnya, sekarang dalam hitungan detik dapat diperolehnya hanya dengan mengubah beberapa kriteria atau kondisi yang ingin disimulasikan. Tak hanya itu, ia pun berujar tentang konsistensi pemikiran yang dihasilkan, juga kecepatan AI dalam berpikir.

Bila dicermati dengan saksama, cerita di atas menunjukkan betapa peran AI cukup signifikan pada tahap input bagi perumusan keputusan. Namun pada tahap proses (jika kita menggunakan mekanisme input-process-output), tetaplah para pengambil keputusan yang memegang kendali.

Alhasil, sebenarnya setiap keputusan atau output yang dihasilkan adalah sinergi dari AI dan manusia. Di titik itu penulis akhirnya melihat bahwa hal yang wajar bila AI ditempatkan sebagai penyedia input saat manajemen puncak mengambil keputusan.

Penulis teringat sebuah artikel di majalah bisnis yang menyatakan bahwa selain digunakan pada tahap input, AI juga dapat dimanfaatkan dalam tahapan proses, yakni menciptakan beberapa skenario untuk setiap alternatif keputusan. Ibaratnya, para manajemen puncak dapat memprediksi hasil yang akan diperoleh jika keputusan tertentu yang diambil.

Pendapat tersebut pada dasarnya merupakan terobosan yang dinanti-nanti di bidang manajemen. Sebagai ilustrasi, pengambil keputusan berpikir akankah volume penjualan meningkat ketika harga produk diberi diskon yang lumayan besar?

Lima tahun yang lalu, keputusan seperti itu diuji cobakan di lapangan, lalu dipelajari untuk melihat mana yang paling tepat bagi perusahaan. Namun tidak demikian halnya dengan saat ini, sistem kecerdasan buatan langsung membantu menyusun skenarionya untuk kita.

Melihat peran yang cukup penting di atas, maka wajar bagi para eksekutif muda untuk meminta pendapat AI atas sebuah alternatif keputusan. Realitas ini tampaknya sudah terpotret dengan baik dari sisi provider AI. Setidaknya itu yang ditunjukkan dengan pembeda antara versi gratis versus berbayar. Tinggal sejauh mana kita berani berinvestasi pada teknologi terbaru ini.

Selamat berefleksi! Salam dan doa terbaik dari kami.

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Baca Juga

Aries Heru Prasetyo

Leave a Reply

Your email address will not be published.