Supply Chain Mobil Listrik Tidak Serta-merta Mengurangi Polusi

Supply Chain Mobil Listrik Tidak Serta-merta Mengurangi Polusi

Penelitian dari Universitas Cambridge, Exeter, dan Nijmegen tahun 2019 menunjukkan bahwa di 95% lokasi di dunia mengendarai mobil listrik lebih ramah lingkungan dibandingkan mengendarai mobil berbahan bakar fosil.

Mobil listrik menghasilkan emisi 200 gr CO2 per mil (per 1,6 kilometer), dibandingkan mobil bahan bakar fosil sebesar 275 gr CO2 per mil. Mobil listrik ini memperoleh energi dari baterai yang dapat di-charge.

Selain itu, Bloomberg pada tahun 2017 menyatakan bahwa 35% (1,8 miliar ton) dari total gas rumah kaca di Amerika Serikat dihasilkan dari moda transportasi. Dari jumlah total tersebut, 58%-nya dihasilkan dari kendaraan penumpang dan truk ringan, dan 23% dari truk besar. Salah satu perusahaan yang giat memproduksi mobil listrik adalah Tesla dengan tujuan mengurangi gas buangan karbon.

Namun sebuah jaringan Supply Chain mobil listrik -secara agregat- menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi daripada Supply Chain mobil bahan bakar fosil. Berikut berbagai tantangan dari Supply Chain mobil listrik (Penelitian dari Massachusettes Institute of Technology Energy Initiative):

• Proses produksi mobil listrik itu sendiri menghasilkan emisi yang lebih besar daripada memproduksi mobil berbahan bakar fosil, terutama energi untuk produksi baterainya itu sendiri. Emisi yang lebih besar ini tidak serta-merta dapat “ditebus” dari efisiensi emisi ketika mengendarai mobil listrik. Namun, harapan terbesar adalah ketika sumber energi listrik diperoleh dari sumber energi terbarukan maka manfaat di seluruh jaringan Supply Chain produksi mobil listrik baru akan terasa. Sehingga sumber energi produksi mobil listrik perlu dialihkan ke energi ramah lingkungan.
• Proses produksi baterai mobil listrik membutuhkan material Cobalt dan Lithium, di mana sejak penambangannya, proses produksi, transportasi, membutuhkan energi yang besar dan menjadi sumber penghasil emisi karbon dari Supply Chain mobil listrik.
• Sekitar 70% Cobalt dunia ditambang di negara Republik Demokrat Kongo, di mana debu-debu Cobalt dapat menimbulkan penyakit pada anak-anak.
• Diperkirakan energi tambahan untuk memproduksi kendaraan listrik sebanyak 30% sampai 40% lebih banyak daripada energi yang dibutuhkan untuk memproduksi mobil berbahan bakar fosil (Cambridge Centre for Environment, Energy and Natural Resource Governance).

Cina menargetkan pada tahun 2030 memiliki 140 mega factories yang memproduksi baterai. Bandingkan di Eropa hanya ada 17 dan di Amerika hanya ada 7. Ini artinya potensi bagi Cina menguasai pasar baterai mobil listrik global namun juga produsen emisi terbesar jika pabrik baterainya masih menggunakan sumber energi fosil.

Alhasil, masih ada berbagai tantangan yang harus dijawab agar mencapai tujuan Sustainability di seluruh jaringan Supply Chain, seperti:
Investasi Research and Development (R&D) untuk mengembangkan baterai terbaik serta sumber energi produksi yang ramah lingkungan.
• Menyediakan insentif pajak agar berbagai perusahaan meningkatkan kolaborasi dengan supplier dan stakeholder-nya untuk mendorong percepatan industri mobil listrik.
• Menyediakan insentif non-keuangan seperti akses kerjasama dengan Perguruan Tinggi, dan kemudahan birokrasi bagi perusahaan yang memanfaatkan sumber energi terbarukan di dalam negeri.
• Transisi pengisian bahan bakar fosil ke listrik.
• Edukasi kepada konsumen dan masyarakat.

Dengan terjawabnya berbagai tantangan di atas, maka tujuan-tujuan dari United Nations Sustainability Development Goals (SDGs) berikut dapat terwujud melalui program mobil listrik:
Good health and well-being, meningkatkan kehidupan yang lebih sehat dengan menurunnya emisi.
Industry, innovation, and infrastructure, mendorong pembangunan industri yang didukung inovasi dan infrastruktur dasar seperti pengisian bahan bakar listrik.
Responsible consumption and production, meningkatkan tanggungjawab masyarakat akan pentingnya konsumsi energi ramah lingkungan.
Climate action, yaitu menjaga iklim.
Peace, justice, and strong institutions.
Partnerships for the goals, kolaborasi yang erat antara Pemerintah, produsen dan supplier, dan Perguruan Tinggi.

*Tulisan ini dimuat di BUMN Track Online

Ricky Virona Martono

Leave a Reply

Your email address will not be published.