Startup Indonesia Tidak Menciptakan Value Creation Yang Baru
Pada dekade kedua abad 21 banyak bermunculan startup di Indonesia yang berbasis teknologi. Mereka menawarkan layanan berbasis teknologi informasi, dan layanan tersebut dimanfaatkan masyarakat serta diterima luas dalam waktu cepat. Aktivitas bisnis dari startup ini misalnya toko online, layanan taksi dan ojek online, layanan pendidikan, transportasi hasil pertanian menuju lokasi pembeli, layanan pembayaran cashless, layanan agen jual beli rumah, dan masih banyak lainnya.
Cobaan pertama dari semua startup di Indonesia ini adalah pandemi Covid-19 yang dimulai awal tahun 2020 dan dilanjutkan dengan krisis ekonomi sampai beberapa tahun berikutnya. Ada startup yang (masih) merugi sampai dengan tahun 2020, kemudian banyak yang melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena tuntutan efisiensi, bahkan tidak sedikit yang bangkrut.
Banyak faktor yang dikemukakan para pengamat sebagai penyebabnya, misalnya kehabisan uang tunai, kalah bersaing, gagal ekspansi, atau tidak ada lagi pendanaan dari investor. Kita tahu, kebanyakan startup ini di tahun-tahun pertamanya lebih banyak “membakar uang” investor untuk strategi marketing dan baru menghasilkan keuntungan beberapa tahun berikutnya. Masalahnya, “beberapa tahun berikutnya” ini ternyata dihadang oleh pandemi dan memaksa para investor untuk mengencangkan ikat pinggang sebelum keuntungan tercapai. Ditambah lagi startup ini belum berpengalaman menghadapi badai krisis ekonomi.
Startup berbasis online memang melakukan terobosan cara baru dalam melakukan transaksi, yaitu berbasis teknologi. Bahkan menawarkan lingkungan kerja yang baru pada masanya, seperti berpakain bebas di kantor, boleh mengenakan sandal di kantor, disediakan ruang bersantai bagi karyawan, dan berbagai nuansa kekinian yang di copy-paste dari kantor di Silicon Valley.
Terobosan cara transaksi yang ditawarkan startup ini memang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia, tapi produk yang diperjualbelikan oleh startup Indonesia sudah ada jauh sebelum startup ini didirikan, misalnya produk makanan, produk konsumsi, properti. Sedangkan mereka yang kerja di sofa di Silicon Valley adalah menciptakan inovasi produk yang baru.
Inilah perbedaannya dengan startup di Silicon Valley. Mari kita amati kondisi berikut ini, di dalam sebuah jaringan Rantai Pasok (Supply Chain) seperti di bawah ini, setiap perusahaan memiliki perannya masing-masing dalam menciptakan value added. Misalnya sebagai aktor dari proses transformasi bahan mentah menjadi barang jadi/manufaktur, sebagai distributor produk jadi menuju ritel atau titik penjualan, atau sebagai penjual produk.
Di antara startup Indonesia yang dikenal luas, mereka sebenarnya menggantikan peran yang dilakukan oleh salah satu perusahaan (atau salah satu aktivitas) di jaringan supply chain dengan cara yang lebih efektif yaitu beroperasi secara online. Tapi -dalam sudut pandang value creation– startup ini tidak menciptakan sebuah value added yang baru, namun menggantikan peran pencipta value added yang sudah ada. Misalnya, sebuah perusahaan ojek online mengantarkan makanan bagi pembeli. Peran ojek online ini adalah sebagai distributor atau transporter dalam jaringan supply chain makanan. Value added dari ojek online adalah mengantarkan makanan ke alamat pembeli sehingga pembeli tidak perlu meninggalkan rumah atau kantornya.
Sebelum munculnya ojek online ini, pembeli akan datang sendiri ke lokasi rumah makan dengan menanggung biaya bensin (asumsinya pembeli mengendarai mobil atau motor) dan biaya parkir di sekitar rumah makan. Ketika pembeli menggunakan jasa ojek online, maka biaya bensin menuju rumah makan, biaya parkir, dan usaha atau waktu menuju rumah makan dialihkan menjadi biaya jasa antar makanan bagi pengemudi ojek online.
Contoh lain lagi, ketika masyarakat membeli produk konsumsi melalui toko online dan tidak membeli ke ritel. Harga yang ditawarkan oleh toko online lebih murah karena mengirim langsung produk dari distributor ke konsumen dan memotong aktivitas (dan biaya) di titik penjualan (atau ritel). Biaya transportasi konsumen menuju ritel dialihkan kepada toko online tersebut.
Dari sini kita lihat bahwa peran dari pembeli menuju rumah makan atau aktivitas masyarakat menuju ritel digantikan oleh peran transporter atau distributor online. Dengan kata lain, peran startup adalah mengambil alih peran pencipta value added transporter yang sudah ada sebelumnya.
Sehingga, bisa kita lihat di sini bahwa konsep bisnis startup Indonesia secara garis besar sebenarnya baru sampai pada tahap menggantikan peran pencipta value added sebelumnya dan tidak menciptakan inovasi produk baru.
Sejatinya sah-sah saja apa yang dilakukan oleh startup ini dengan mengambil alih peran pencipta value added yang sudah ada sebelumnya itu, karena peluang bisnis, inovasi, dan kompetisi dapat muncul di manapun. Selain itu, tidak sedikit startup yang membuka peluang kerja baru bagi masyarakat.
Lalu, bagaimana dengan Amazon? perusahaan yang menjual berbagai produk secara online tapi bisa terus maju. Hal itu karena penjualannya menjangkau seluruh dunia, yang artinya potensi pasarnya seakan tidak dibatasi daya beli masyarakat di negeri sendiri. Mungkin startup Indonesia perlu memikirkan target jangka panjang untuk memperluas daya jualnya sampai ke seluruh dunia juga.
*Tulisan ini dimuat di BUMN Track Online