Rumus Menjadi Follower

Rumus Menjadi Follower

Followership, apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar kata itu? Di era media sosial saat ini mungkin saja ada yang beranggapan bahwa followership adalah teori tentang bagaimana mendapatkan banyak follower di Instagram atau twitter. Jika anggapan Anda demikian, sayang sekali tulisan kali ini bukan membahas hal tersebut. Namun, tetap jangan berhenti membaca ini sampai habis, ya!

Jika kita sangat familiar dengan kata Leadership, di mana sederhananya dengan ilmu-ilmu terkait Leadership tersebut kita akan belajar untuk menjadi leader yang baik, maka followership ini akan membahas bagaimana menjadi follower yang baik.

Followership sendiri sebenarnya sudah diperkenalkan sejak 32 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1988 oleh Robert E Kelley: In Praise of Followership. Namun sampai saat ini ilmu tentang followership ini tetap saja tidak sepopuler kakaknya, leadership. Hal ini terjadi seringkali karena banyak orang memandang bahwa ilmu ini tidak perlu dipelajari. Mereka beranggapan bahwa tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai adalah menjadi seorang leader, bukan sekadar hanya menjadi seorang follower.

Namun demikian, ada proses yang dilupakan. Bahwa untuk menjadi seorang leader itu tidak ujug-ujug. Anda akan meniti karir dari bawah, akan menjadi seorang follower terlebih dahulu, bersaing dengan follower-follower yang lain untuk menunjukkan bahwa Anda pantas dipilih menjadi seorang leader.

Ketika sudah menjadi seorang leader pun, Anda tetap perlu memahami ilmu ini. Anda bisa memetakan mana follower yang efektif dan mana yang kurang efektif, dengan begitu Anda pun tahu dan bisa menghadapi berbagai tipe atau jenis *follower *dengan cara yang pas dan sesuai untuk perkembangan mereka. Jadi ilmu ini bukanlah ilmu kelas dua. Ilmu ini adalah ilmu yang harus dipahami oleh setiap orang.

Menurut Kelley, ia membagi tipe followership berdasarkan dua dimensi besar, yaitu follower engagement dan critical thinkingFollower engagement adalah tingkat inisiatif seorang follower untuk berpartisipasi aktif dalam tugas-tugas organisasi. Follower engagement ini dibagi dua, aktif dan pasif.

Sementara critical thinking adalah tingkat seberapa kritis seorang follower dalam menerima informasi, mengidentifikasi konsekuensi dan peluang. Critical thinking ini juga dibagi dua, yaitu kritis dan tidak kritis. Menurut Anda tipe follower yang seperti apa yang dianggap paling efektif bagi organisasi?

Jika Anda menjawab follower yang aktif dan kritis maka jawaban itu sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kelley tersebut. Ya, untuk bisa berkontribusi optimal bagi organisasi dan tim kerja Anda, maka kita perlu bersikap aktif alias menunjukan inisiatif tinggi dalam menjalankan tugas-tugas tidak hanya menunggu instruksi, serta juga bersikap kritis, yaitu mampu mengevaluasi dan menganalisis informasi yang diterima, berani mengemukakan pendapat jika ada sudut pandang lain, tidak hanya ikut apa yang diminta pimpinan.

Dengan menunjukan sikap aktif, pekerjaan akan berjalan lebih lancar dan tepat waktu. Dengan menunjukan sikap kritis maka segala risiko/konsekuensi lebih terkendali, peluang lebih tergali, sehingga keputusan yang dibuat akan lebih berkualitas.

Untuk dimensi follower engagement biasanya tidak terlalu banyak friksi di dalam pelaksanaannya, kita sepakat bahwa follower-follower yang inisiatif dan proaktif akan sangat membantu jalannya pekerjaan menjadi lebih baik. Namun untuk dimensi critical thinking ini seringkali tidak sejalan dalam implementasinya.

Penulis teringat suatu kelas pelatihan yang dibawakan oleh seorang Direktur Utama sebuah BUMN besar di Indonesia, pada saat ini beliau bertanya pada peserta. Jika Anda sebagai seorang leader diminta untuk memilih seorang anggota tim, ada dua kandidat di sana, si A orang yang pintar dan kritis, atau si B orang yang penurut. Mana yang akan Anda pilih?

Dalam beberapa saat kelas hening, tidak ada yang dengan sangat yakin menjawab pertanyaan tersebut sampai Bapak CEO ini yang memberikan jawaban. Beliau menjawab, “Jika saya yang ditanya saya akan memilih si A, bukan berarti yang penurut ini jelek yah, pada situasi atau pekerjaan tertentu memang kita juga perlukan tipe seperti si B. Namun jika saya mencari orang yang akan bekerja bersama-sama saya untuk memajukan organisasi ini maka saya lebih memerlukan orang seperti si A.”

Dari cerita tersebut kita semakin diyakini bahwa follower yang kritis akan lebih memberikan kontribusi bagi organisasi. Namun kembali lagi, sudahkah Anda sebagai seorang leader memberikan ruang yang cukup bagi para follower Anda untuk boleh bersikap kritis?

Di Indonesia ini tidak kita pungkiri bahwa budaya “yes bos” atau “nggih pak/bu”, “oke pak/bu” lebih berkembang luas daripada budaya “tapi pak/bu”. Banyak follower yang kemudian lebih memilih ikutin aja kata si bos daripada bersikap kritis karena memang tidak ada ruang untuk bersikap demikian.

Para follower yang berani menunjukan pemikiran yang berbeda malah dicap nyeleneh atau bahkan pembangkang. Banyak komunikasi yang terjadi antara leader dan follower tersebut bukan komunikasi antara orang dewasa dan orang dewasa (mau sama-sama mendengarkan, memberikan ruang argumen dan bersama-sama mencari penyelesaian yang paling sesuai). Yang terjadi di lapangan lebih banyak kepada komunikasi orang tua dengan anak (Anda tidak perlu banyak tanya atau membantah, ikuti saja kata saya, saya yang paling tahu apa yang terbaik).

Jika yang terjadi adalah komunikasi yang kedua tersebut (orang tua kepada anak) maka seorang leader mungkin secara tidak sadar (atau mungkin sadar penuh) telah mematikan kreativitas dan ruang gerak follower-nya. Jangan berharap follower Anda bisa berkontribusi optimal karena Anda sendiri sebagai leader yang telah menutup jalan tersebut.

Di era yang sangat modern saat ini segala jenis perubahan telah terjadi dengan sangat cepat. Dunia tidak lagi sama. Informasi bergerak sangat dinamis. Apa yang Anda lihat dari atas sebagai leader belum tentu menyentuh apa yang terjadi di lapangan.

Maka dari itu sikap open minded seorang leader sangat diperlukan saat ini. Para leader jangan baper jika dikritisi. Para follower pun jangan sungkan untuk menyampaikan pemikiran atau sudut pandang yang berbeda. Dengan begitu komunikasi yang sehat akan terbentuk, informasi yang akurat akan tercipta, keputusan yang diambil “akan” lebih banyak manfaat daripada mudaratnya.

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Pratiwi

Leave a Reply

Your email address will not be published.