Quiet Quitting Pasca Lebaran: Merajut Ulang Hubungan dengan Karyawan
Lebaran sudah berlalu beberapa hari, sederet pekerjaan dan tanggung jawab pun sudah datang menghampiri. Entah itu urusan domestik di rumah tangga, maupun urusan profesional di tempat kerja.
Melihat tumpukan ragam pekerjaan yang sudah menanti seringkali membuat motivasi dikebiri. Entah itu dirasa secara sadar atau bahkan ia datang tanpa pertanda. Alhasil, karut marut persepsi pada tumpukan pekerjaan yang menanti meninggalkan efek demotivasi.
Keengganan untuk memulai hari selepas libur panjang Idul Fitri ini bisa diperparah dengan “tekanan sosial” yang didapatkan selama bertemu handai tolan di kampung halaman. Jika selama ini lebaran identik dengan pertanyaan seputar pasangan dan keharmonisan hubungan, namun tak jarang pula yang mendapat cecaran pertanyaan soal kepuasan di dunia kerja.
Rumput tetangga selalu lebih hijau, begitu pepatah menggambarkannya. Mendengar celoteh sahabat, keluarga, atau bahkan tetangga soal bahagianya mereka di tempat kerja, ternyata cukup ampuh memantik tanda tanya, “apakah saat ini Saya juga bahagia?”
Kepuasan pada profesi yang dijalani akan melahirkan rasa bahagia bagi orang yang menjalankannya. Namun, nyatanya kepuasan kerja tidak datang dari sekadar menjalani profesi, sederet faktor tentu turut memengaruhinya. Entah itu persoalan gaji atau imbal jasa, maupun persoalan kondisi kerja, seperti beban kerja yang tak sepadan, atau juga hubungan baik dengan atasan. Rutinitas pekerjaan akan menimbulkan kebosanan, namun hubungan yang baik antar individu di dalam organisasi akan mampu mereduksi kebosanan itu.
Percikan topik kepuasan kerja yang muncul selama interaksi sosial di masa lebaran itu seakan terus bermunculan di kepala kita. Walau sudah kembali beraktivitas seperti semula, namun jiwa dan perasaan seakan belum sepenuhnya hadir di tempat kerja. Bahkan, kita mulai menakar ulang standar kepuasan dengan rutinitas dan beban kerja yang dijalankan. Proses evaluasi diri mulai dijalani, namun di saat bersamaan, lautan motivasi juga semakin menepi.
Quiet Quitting Jadi Muara tak Bertepi
Demotivasi kerja karena evaluasi tak berkesudahan pada standar kepuasan seakan menggiring kita pada sebuah fenomena yang disebut quiet quitting. Sempat viral di ranah media sosial beberapa bulan ke belakang, topik quiet quitting seakan menjadi konten yang tak pernah habis untuk dibahas. Kenapa tidak, fenomena ini seakan menjadi sarana untuk bersuara bagi kaum pekerja yang sudah merasa burnout atau jenuh dengan tuntutan pekerjaan yang tak berkesudahan. Bahkan, quiet quitting jadi slogan untuk menyerukan keseimbangan kerja dengan kehidupan personal, seakan ingin mengetuk kembali hati para pimpinan agar peduli pada kesehatan mental para karyawannya.
Walau istilah quiet quitting kembali populer sejak konten akun tiktok @zaidleppelin viral di seluruh dunia pada pertengahan 2022 silam, namun sejatinya istilah ini sudah ada sejak lebih dari satu dekade silam. Beberapa rujukan literatur menyebutkan bahwa istilah quiet quitting pertama kali diungkapkan oleh Mark Boldger, seorang ekonom kenamaan Amerika, pada gelaran Texas A&M Economic Symposium tahun 2009.
Istilah itu diungkapkan untuk menggambarkan kondisi menurunnya semangat kerja para buruh di Amerika Selatan yang tak lagi melihat kesamaan visi dengan sistem ekonomi dan manajemen yang dijalankan oleh pimpinan perusahaan. Hal senada juga merebak di China pada medio 2021 dengan istilah “Tang Ping” atau diartikan secara sederhana menjadi “berbaring datar”.
Fenomena ini digaungkan sebagai bentuk protes atas kondisi di mana para pekerja muda merasa jenuh dengan tuntutan jam kerja yang tinggi di sana. Sehingga mereka merasa bahwa work-life balance tak tercipta karena atasan meminta lebih dari apa yang sudah jadi kesepakatan. Fenomena Quiet Quitting dan Tang Ping ini seakan menjadi tanda protes oleh pekerja yang disuarakan pada pimpinan atau manajemen puncak di organisasi mereka.
Lebih lanjut, quiet quitting bukan sekadar fenomena seseorang bosan dengan pekerjaannya semata, namun quiet quitting menjadi sebuah gerakan untuk protes pada kebijakan dan perlakuan atasan pada bawahan. Bahkan tak bisa dipungkiri, karyawan terbaik pun akan sukarela menjalankan gerakan quiet quitting ini jika dia sudah mulai merasa ada ketimpangan pada hak dan kewajiban di lingkungan pekerjaan.
Beberapa riset pun mengatakan bahwa ketidakpuasan kerja dan demotivasi kerja di antara karyawan bisa menular dan menimbulkan dampak yang masif bagi kinerja perusahaan. Sejatinya hal ini menjadi sinyal kuat bagi pemangku kepentingan untuk mulai menata kembali pola hubungan dengan karyawan.
Namun tak bisa dipungkiri, terkadang kondisi quiet quitting ini bisa jadi sebuah strategi bagi manajemen untuk menggiring karyawan pada kondisi quiet firing yang memang sudah direncanakan sejak jauh hari. Jika memang manajemen melakukan hal seperti itu, tentu ragam kajian dan konsekuensi dinamika organisasi sudah diperhitungkan dengan saksama.
Baik quiet quitting versi karyawan maupun quiet firing versi atasan bukan menjadi solusi yang elok bagi keharmonisan hubungan di lingkungan pekerjaan. Hadirnya kepemimpinan yang arif dan bijaksana sejatinya mampu menjembatani dua muara yang tak bertepi ini.
Lantas bagaimana hal ini bisa relevan dengan kondisi pasca lebaran? Jika tak ingin berandai-andai terlalu jauh, sejatinya tulisan ini bisa menjadi sekadar pengingat bagi kita semua, bahwa merajut hubungan antara pimpinan dan karyawan adalah proses yang tak bisa disepelekan.
Apalagi tekanan sosial pasca lebaran bisa berkontribusi pada meningkatnya demotivasi kerja hingga menurunnya kepuasan karyawan pada tuntutan pekerjaan yang telah diberikan. Bahkan bagi perusahaan yang memang sudah memiliki indikasi ketidakharmonisan antara pimpinan dan karyawan, fenomena quiet quitting pasca lebaran seakan pemantik kontekstual semata setelah tekanan sosial yang dirasa selama interaksi di kampung halaman.
Mumpung masih dalam suasana dan semarak lebaran, mari rajut ulang hubungan antara pimpinan dan karyawan!
*Tulisan ini dimuat di SWA Online