Pentingnya Waktu & Durasi Kerja bagi Karyawan

Pentingnya Waktu & Durasi Kerja bagi Karyawan

Salah satu perubahan yang paling dirasakan ketika pandemi ini hadir adalah bagaimana berbagai jenis pekerjaan dan juga pekerjanya didorong untuk dapat bekerja dari rumah atau dikenal dengan istilah work from home (WFH).

Dengan anjuran WFH ini banyak pekerjaan dan pekerja yang dimudahkan sekaligus menjadi tantangan. Bagi sebagian pekerja, WFH mendorong mereka untuk lebih otonom dalam mengelola pekerjaan. Mereka mampu membagi waktu kerja dan waktu pribadi dan seluruhnya dapat dilakukan dari rumah mereka masing-masing yang kemudian berkembang bahwasanya bekerja bukan hanya dari rumah selama pandemi, tapi juga bisa darimana saja atau dikenal dengan istilah work from anywhere (WFA).

Baik WFH maupun WFA keduanya menuntut pekerja untuk dapat mandiri dalam bekerja sesuai dengan tuntutan pekerjaannya. Di sisi lain, ternyata ada beberapa pekerja yang ternyata merasa bahwa WFH maupun WFA membuat mereka merasa terputus dengan dunia sosial mereka dan menyebabkan stres bagi para pekerja ini.

Dikutip dari laman theguardian.com, dinyatakan bahwa WFH selama pandemi ini mendorong mereka lebih merasa sendiri dan ada keluhan kesehatan mental yang muncul. Bahkan dalam beberapa kesempatan, pekerja yang baru melakukan WFH ketika pandemi lebih merasa bahwa dengan WFH maka jam kerja mereka menjadi hilang. Dibantu perangkat kerja berbasis teknologi, maka setiap pekerja merasa “harus tekoneksi selama 24/7” dalam pekerjaan mereka masing-masing, padahal aturan kerja 40 jam per minggu sudah menjadi peraturan resmi (setidaknya) di Indonesia.

Melihat hal tersebut, sebagai praktisi SDM atau profesional di bidang ini, kita bisa kembali meninjau pentingnya waktu dan durasi dalam bekerja. Merujuk artikel yang dikeluarkan oleh Harvard Business Review, menunjukkan bahwa program waktu kerja fleksibel akan mendorong produktivitas, ketahanan dalam bekerja, dan juga meningkatkan aspek kepercayaan sesama anggota tim di organisasi. Masih dalam artikel yang sama, penerjemahan waktu kerja fleksibel adalah di mana:

  1. Pekerja boleh memilih untuk bekerja jarak jauh 2-3 hari selama 5 hari kerja di mana mereka akan menerapkan WFH / WFA,
  2. Diperbolehkan datang ke kantor pada hari Rabu jika hanya secara fisik memungkinkan,
  3. Anda tidak boleh terlalu kaku maupun terlalu fleksibel dalam jam kerja, karena masih ada jam bisnis yang berlaku di negara,
  4. Anda tidak perlu berpikir bahwa Anda harus terkoneksi selama 24/7

2-3 hari kerja yang ditentukan tersebut diambil dari hasil riset mahasiswa MIT yang melakukan riset tentang berapa hari seseorang harus bekerja dari kantor. Hasil riset tersebut menyatakan bahwa organisasi pada dasarnya bisa menentukan seberapa sering pekerjanya untuk dapat ke kantor dengan mempertimbangkan apa yang menjadi penting bagi organisasi maupun tim kerja yang diterjemahkan kedalam matriks-matriks yang penting sehingga hal ini memungkinkan organisasi maupun tim kerja dapat mengatur frekuensi mereka untuk hadir di kantor.

Mempertimbangkan hal di atas, jika kita membagi waktu kerja akan ada dua kelompok atau jenis waktu kerja. Yang pertama adalah waktu kerja fix dan yang kedua adalah waktu kerja fleksibel yang diasumsikan keduanya menerapkan 8 jam waktu kerja selama 1 hari.

Waktu Kerja Fix

Waktu kerja ini dapat diterjemahkan ke dalam waktu kerja di mana kita bekerja selama 8 jam secara penuh, misal dari pukul 08.00 wib hingga 17.00 wib, dijeda hanya dengan istirahat makan siang (biasanya) selama 40 hingga 60 menit. Jenis waktu kerja ini secara umum dapat kita temui di dalam beberapa jenis pekerjaan, seperti pekerja di perusahaan manufaktur/pabrik, pekerja konstruksi, dan jenis pekerjaan yang umumnya dilakukan secara simultan dari setiap output pekerjaan dan kategori pekerjaannya berdasarkan runtutan proses yang harus dilakukan.

Waktu Kerja Fleksibel

Waktu kerja ini yang banyak digunakan selama pekerja melakukan WFH/WFA di mana para pekerja dengan asumsi bekerja selama 8 jam 1 hari namun tidak dilakukan secara berturut-turut. Kita bisa memilih dan menentukan kapan kita bekerja, kapan istirahat, dan kapan melakukan aktivitas pribadi. Biasanya dilakukan berdasarkan dasar keluaran pekerjaan atau output based work. Biasanya kategori pekerja yang seperti ini adalah pekerja kreatif  & Knowledge Worker (seperti pengembang web & aplikasi perangkat lunak, seniman, content creator, dll).

Pro Kontra Jenis Waktu Kerja

Dalam hal ini, perbandingan keduanya menjadi sangat menarik untuk dilakukan. Waktu kerja fix menuntut kita untuk tetap fokus secara fisik dan mental dalam bekerja selama durasi kerja 8 jam tersebut secara simultan yang mungkin saja mendorong untuk bosan dengan pekerjaan. Bahkan ada beberapa anggapa bahwa bekerja secara simultan 8 jam tidak dapat menghasilkan pekerjaan yang inovatif karena pekerjaan 8 jam ini hanya melakukan pekerjaan repetisi. Namun bila kita perhatikan dengan saksama, pekerja yang memilih (atau setidaknya diharuskan) bekerja selama 8 jam penuh secara simultan maka mereka lebih dapat mengatur jadwal mereka dalam melakukan aktivitas lain seperti pengembangan diri, aktivitas sosialisasi, dan aktivitas mereka bersama dengan keluarga.

Berkebalikannya dengan pekerja yang memilih waktu kerja fix, pekerja yang memilih melakukan waktu kerja fleksibel sangat bisa fleksibel dalam mengatur waktu kerjanya. Mereka dapat bekerja per 1 jam, per 2 jam, per 4 jam sesuai kebutuhan (dan tentunya keinginan mereka) dan berbasis keluaran pekerjaan.

Namun demikian dari artikel yang disadur dari the guardian di atas ditemukan bahwa sebagian besar pekerja yang memilih model kerja seperti ini sering merasa sendiri dan stres dengan pekerjaannya karena mereka justru merasa harus terkoneksi selama 24/7 alias tidak ada waktu kerja. Hal ini berimbas kepada produktivitas mereka sendiri, berimbas kepada bagaimana mereka bersosialisasi dengan rekan dan keluarganya juga misalnya.

Tips

Untuk menghindari penurunan produktivitas kerja yang berdampak kepada organisasi maka beberapa tips ini dapat dicoba lakukan:

1.Sadari pentingnya waktu & durasi kerja

Waktu kerja yang sudah dibuat 8 jam selama satu hari pada dasarnya merupakan angka acuan yang bisa digunakan untuk bekerja dalam 1 hari terlepas kita memilih waktu kerja fleksibel maupun fix. Ini artinya melatih untuk commit dengan jam kerja selama 8 jam yang bisa dilakukan. Jangan sampai untuk membuat rekan kerja terkesan, kita bersedia bekerja di luar durasi kerja yang bisa dilakukan. Intinya adalah semakin kita bisa menentukan berapa lama durasi bekerja, maka itu akan lebih baik bagi mental dan kehidupan lainnya di luar pekerjaan.

2.Jujur pada diri sendiri ketika merasa lelah dalam bekerja

Banyak pekerja yang melakukan WFH/WFA merasa harus terhubung selama 24/7 dalam pekerjaan mereka dengan rekan kerja tim. Hal ini mungkin terjadi karena kita merasa bahwa teknologi akan membuat lebih terhubung dengan rekan kerja. Padahal hal ini sebaiknya dihindari. Notifikasi pekerjaan di luar durasi bekerja akan mendorong kita untuk secara impulsif melakukan pengecekan pekerjaan dan membuat akan merasa lebih lelah dalam bekerja. Katakan “Terima Kasih Untuk Hari Ini, Saatnya Saya Mengakhiri Pekerjaan Hari Ini” pada diri sendiri akan melatih diri untuk lebih memahami bahwa tidak selamanya perlu bekerja.

3.Komunikasikan dengan tim mengenai preferensi waktu dan durasi kerja

Bagian ini adalah bagian penting. Komunikasikan dengan tim mengenai preferensi dan durasi bekerja. Hal ini bertujuan agar kita dan tim tidak saling menyalahkan akan preferensi masing-masing selama pekerjaan yang dibebankan kepada tim dapat diselesaikan dan organisasi juga mendapatkan manfaat dari produktivitas kita. Pertimbangkan jam pelayanan bisnis jika memang organisasi kita mengharuskan hadir di jam-jam tersebut. Komunikasikan bagaimana preferensi kita dalam bekerja menjadi kunci agar tetap sehat secara mental dan organisasi tetap mendapatkan manfaat dari kinerja kita.

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Dwi Putra Apri Setianugraha

Leave a Reply

Your email address will not be published.