Mungkinkah Meningkatkan Valuasi di Kala Pandemi?
Satu kabar yang paling melegakan dalam beberapa waktu terakhir ini adalah prestasi yang berhasil dicapai dalam penanganan pandemik Covid-19. Di beberapa wilayah kini penerapan PPKM sudah mulai diturunkan levelnya. Itu berarti sinyal bagi peningkatan kegairahan ekonomi kembali berbunyi nyaring.
Seakan tak sabar menunggu, beberapa perusahaan mulai meramaikan bursa efek dengan rencana-rencana investasi besarnya. Meski belum semeriah masa sebelum pandemik, namun suka cita kali ini bak hembusan angin segar di tengah hari yang begitu panas. Nah pada kesempatan ini, izinkan saya mengajak Anda untuk berdiskusi terkait apakah mungkin perusahaan tetap berupaya untuk meningkatkan valuasinya meski pandemik belum 100% dinyatakan hengkang dari bumi pertiwi?
Sebelum memulai, kita kiranya perlu berangkat dari satu premis yang sama yakni, anggap saja kita terpaksa co-exist dengan virus berlabel Covid-19. Bisa jadi kategorinya bukan lagi pandemik tapi sudah berubah menjadi endemik. Namun kita bisa berpikir bahwa tetap saja virus ini beredar di udara yang kita hirup. Maka dari sisi pengelolaan bisnis kita perlu terus berpikir untuk segera berdamai dengan kondisi yang ada seraya meracik strategi jitu guna tetap memenangkan pasar.
Berangkat dari konteks tersebut, kini mari kita gunakan formula dasar dari valuasi untuk menjadi indikator kemenangan di pasar. Valuasi perusahaan secara konseptual dapat diidentifikasi dari beberapa sudut pandang, namun untuk mempermudah analisa, izinkan saya hanya menggunakan satu pendekatan saja yakni discounted cash flow.
Pendekatan yang lazim disebut dengan DCF ini menyatakan bahwa valuasi perusahaan akan dapat diperoleh dengan membagi antara arus kas bebas dengan penyebut yakni rumus (1 + biaya modal rata-rata tertimbang). Secara matematis, jika kita ingin menaikkan angka valuasinya maka alternatif yang dapat diambil adalah meningkatkan angka pembilang (arus kas bebas) seraya menekan laju peningkatan penyebut, atau ketika upaya menaikkan pembilang belum dapat dilakukan maka setidaknya penyebutnya yang bisa ditekan. Ini berarti kita harus mencermati nilai biaya modal rata-rata tertimbangnya.
Sekarang mari kita mulai dari sisi peningkatan pembilang. Arus kas bebas yang dimaksud adalah laba operasi setelah mempertimbangkan efek kewajiban membayar pajak plus depresiasi serta selisih dengan kebutuhan capital expenditure (modal investasi jangka panjang yang jatuh tempo di tahun tersebut) dan perubahan modal kerja. Bicara tentang peningkatan laba operasi maka mau tak mau pemicunya adalah kenaikan pendapatan. Ini berasal dari aktivitas penjualan kita.
Melihat geliat perekonomian yang mulai berangsur pulih, maka peluang meningkatkan pendapatan tetap ada. Namun akan lebih baik bila diiringi dengan efisiensi dari sisi harga pokok penjualan serta komponen biaya-biaya lain. Dalam praktik di lapangan, seringkali penurunan biaya pokok menjadi cukup sulit, mengingat banyak pemasok yang beramai-ramai menaikkan harga, sehingga biaya produksi menjadi sulit untuk ditekan. Alhasil, jika itu yang terjadi maka kita harus mulai berpikir untuk meningkatkan efisiensi dari sisi komponen biaya umum, biaya administrasi maupun biaya penjualan. Pada konteks tersebut maka penurunan biaya pemasaran kiranya merupakan pilihan terbaik.
Sejenak ketika pola itu berhasil diwujudkan maka laba operasi akan meningkat. Kini tinggal bagaimana kita mengelola sisi penyebutnya. Biaya modal rata-rata tertimbang pada hakikatnya merujuk pada bagaimana perusahaan mengelola struktur modalnya. Sebab komponen biaya ini sejatinya dibangun dari biaya yang dikeluarkan dari sisi pendanaan menggunakan utang maupun ekuitas.
Dengan demikian, kita dapat melihat komponen biaya mana dari kedua sumber dana tersebut yang selama pandemik ini meningkat (alias lebih mahal dari biasanya). Jika terbukti bahwa penggunaan utang berhasil meningkatkan biaya modal maka untuk sementara para pemegang saham dapat meminjamkan dananya dengan biaya yang relatif lebih rendah demi tercapainya target kenaikan laba operasi.
Strategi itulah yang kini banyak menjadi pilihan para pemegang saham di banyak negara. Studi terkait sisi permodalan usaha selama pandemik menyimpulkan adanya peningkatan aktivitas penyuntikan kembali modal oleh pemegang saham melalui pinjaman lunak kepada perusahaan.
Hal ini menyasar upaya untuk mempertahankan kinerja dalam jangka pendek sekaligus memanfaatkan setiap peluang investasi yang ada. Melalui cara ini maka upaya perusahaan untuk meningkatkan valuasinya meski di tengah-tengah pandemik akan dapat dilakukan.
Salam sehat untuk anda sekeluarga, dan sukses senantiasa!
*Tulisan ini dimuat di SWA Online