Meski Produktivitas Rendah, Indonesia Selalu Menarik
Survei dari Japan External Trade Organization (JETRO) pada tahun 2019 menunjukkan skor produktivitas tenaga kerja Indonesia sebesar 74,4. Ini lebih rendah dari Singapura (86,3), Thailand (82,7), Vietnam (80,0), dan Laos (76,7), serta Malaysia (76,2).
Namun demikian, Indonesia nampaknya akan selalu menarik sebagai tujuan produksi dan investasi meski produktivitas tenaga kerjanya dibandingkan negara ASEAN dan Asia lainnya rendah. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki beberapa karakter.
Pertama, Competitive Advantage Indonesia pada ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, sehingga mampu menyediakan sumber daya dan produk bagi negara lain, antara lain, kelapa sawit (terbesar pertama di dunia, pada tahun 2020 mencapai 40 juta ton), dan nikel (pada tahun 2020 mencapai 27% dari total produksi nikel dunia).
Perbedaan competitive advantage di setiap negara mendorong spesialisasi produksi sesuai karakter setiap negara. Menurut Adam Smith, spesialisasi dapat meningkatkan keterampilan tenaga kerja dan ekonomi sebuah negara, namun juga memperkecil peluang negara berkembang memperluas keterampilan.
Perlu dipertimbangkan jika sebuah negara bisa menguasai dua sampai tiga macam spesialisasi sehingga competitive advantage negara tersebut semakin beragam. Selain itu, perusahaan dapat mengurangi risiko jika di satu negara terjadi guncangan (isu politik, becana alam, kompetitor berkembang pesat, dan sebagainya).
Kedua, pasar yang besar dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia (pada tahun 2020 mencapai 270 juta jiwa). Jumlah penduduk yang besar berpotensi sebagai penyedia tenaga kerja sekaligus konsumen.
Ketiga, lokasi strategis di persimpangan perdagangan dunia. Pada tahun 2017, volume perdagangan laut dunia yang melalui Selat Malaka mencapai 30%, atau sekitar 50.000 kapal per tahun. Bandingkan dengan Selat Panama dan Terusan Suez yang masing-masing sebesar 15% (Rodrigue, 2017).
Keempat, New Trade Theory oleh Paul Krugman menunjukkan bahwa meskipun perbedaan tingkat produktivitas antar dua negara diabaikan (in the absence of productivity differences between two countries), kedua negara tersebut tetap menikmati perdagangan di antara mereka. Hal ini karena peran economy of scale dan manfaat perdagangan berupa biaya produksi yang turun. Di sisi lain, konsumen tetap dapat membeli beragam jenis produk karena perdagangan dengan negara lain. Sehingga, hambatan produktivitas dapat diantisipasi. Teori ini sepertinya menjadi jawaban dari tingkat produktivitas Indonesia yang pada tahun 2019 hanya berada pada peringkat 5 dari 10 negara ASEAN (Asian Productivity Organization).
Kelima, ketika perusahaan menghadapi risiko jaringan supply chain, maka strategi multi lokasi produksi-distribusi-konsumsi menjadi menarik untuk mengurangi risiko. Ketika terjadi risiko di sebuah negara, akan ada proses di supply chain yang terganggu. Maka, kinerja dan keuntungan di negara tersebut menurun. Di sisi lain, perusahaan global sudah mengantisipasi ini dengan cara menyebar lokasi produksi ke beberapa negara. Sehingga, secara akumulasi global, perusahaan akan menghasilkan kinerja yang cukup baik.
Di dalam jaringan global supply chain, setiap aktivitas produksi tidak selalu dilakukan di negara yang sama dengan sumber raw material, research and development, dan lokasi pasar. Hal ini disebabkan karena perbedaan kondisi dari ketersediaan supplier yang memenuhi standar produksi, economy of scale, competitive advantage teknologi yang tersedia di setiap negara, kualitas tenaga kerja, dan risiko di negara lokasi produksi seperti kestabilan politik, bea masuk, dan infrastruktur.
Keenam, dengan tingkat literasi rendah (Menurut UNESCO, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia memiliki minat baca serius), kecil kemungkinan Indonesia akan bertranformasi menjadi negara maju, apalagi sebagai inovator produk teknologi tinggi. Maka, kecil kemungkinan Indonesia akan meramaikan kompetisi perdagangan dunia. Kondisi ini tentunya menarik bagi berbagai perusahaan asing untuk menanamkan investasi produksi di Indonesia, karena produk-produk mereka tentunya akan sulit ditiru oleh masyarakat Indonesia.
*Tulisan ini dimuat di SWA Online