Mengapa Kepemimpinan Tim Gagal? Tiga Pola Disfungsional yang Harus Diwaspadai!

Mengapa Kepemimpinan Tim Gagal? Tiga Pola Disfungsional yang Harus Diwaspadai!

Dalam mengejar kinerja yang cemerlang, banyak pemimpin puncak seringkali mengabaikan satu faktor kritis dalam keberhasilan organisasi, yakni kesehatan kepemimpinan dalam tim. Hal ini menjadi masalah besar, karena tim yang disfungsional dapat secara signifikan menghambat pelaksanaan strategi dan tujuan perusahaan. Acapkali para pemimpin fokus pada pengembangan strategi yang brilian, namun lupa bahwa tanpa tim yang sehat dan efektif, implementasi strategi tersebut bisa gagal total.

Untuk memahami lebih lanjut tentang masalah-masalah yang mempengaruhi kepemimpinan dalam tim, dalam sebuah dokumen wawancara dengan lebih dari 100 CEO dan eksekutif senior dalam sebuah program penelitian selama beberapa tahun ditemukan hasil bahwa tiga pola disfungsional utama yang ditemukan pada kepemimpinan tim yaitu, shark tank (kolam hiu), petting zoo (kebun binatang ramah), dan mediocracy (mediokritas). Pola-pola ini masing-masing memiliki karakteristik yang merusak kinerja dan efektivitas tim. Mari kita bahas lebih dalam setiap pola ini.

1. Shark Tank: Tim dengan Politik dan Pertengkaran

Bayangkan sebuah kolam penuh dengan hiu, di mana setiap anggota tim saling berkompetisi secara agresif. Pola shark tank menggambarkan tim yang didominasi oleh konflik internal, intrik politik, dan pertarungan untuk kekuasaan. Dalam situasi ini, setiap anggota tim merasa perlu mempertahankan posisi dan kepentingannya sendiri, bahkan seringkali dengan cara yang merugikan orang lain.

Tim dengan dinamika shark tank cenderung mementingkan ego, setiap orang ingin menjadi yang paling berpengaruh dan berusaha keras untuk menonjolkan diri di atas anggota tim lainnya. Lalu minim kolaborasi, alih-alih bekerja sama, anggota tim lebih suka memajukan agenda pribadi mereka dan menjatuhkan orang lain.

Kemudian keputusan diambil dengan intensitas konflik, hal itu karena kurangnya rasa saling percaya, keputusan-keputusan penting sering kali dibuat berdasarkan pertarungan kekuasaan, bukan kepentingan organisasi.

Hal ini menjadi berbahaya karena ketika kepemimpinan tim lebih fokus pada pertarungan politik daripada mencapai tujuan bersama, kinerja organisasi akan terpengaruh secara signifikan. Waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk memajukan organisasi malah terkuras untuk konflik internal.

2. Petting Zoo: Tim yang Menghindari Konflik dan Terlalu Kolaboratif

Di sisi lain, kita menemukan pola petting zoo, yang dicirikan oleh harmoni yang palsu. Dalam tim seperti ini anggota tim berusaha terlalu keras untuk menjaga kedamaian dan menghindari konflik, bahkan jika hal tersebut merugikan produktivitas. Mereka begitu fokus pada kolaborasi dan persahabatan sehingga mereka menghindari percakapan sulit dan keputusan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Ciri khas dari tim petting zoo ini seperti menghindari konflik, mereka enggan mengungkapkan ketidaksetujuan atau pandangan berbeda, karena takut merusak hubungan antar anggota tim. Lalu fokus berlebihan pada harmoni, tim ini memprioritaskan “rasa nyaman” dan “keharmonisan” di atas pencapaian hasil yang diperlukan. Kemudian pengambilan keputusan yang lamban, karena mereka menghindari konfrontasi, keputusan seringkali tertunda dan menjadi kurang efektif karena tidak ada yang berani mengambil langkah yang diperlukan.

Dampak negatif dari pola ini adalah tim kehilangan momentum dalam pengambilan keputusan penting. Konflik yang sehat sebenarnya dibutuhkan untuk memunculkan ide-ide terbaik, namun dalam tim petting zoo, inovasi terhambat karena semua orang berusaha terlalu keras untuk “bermain aman”‘

3. Mediocracy: Tim yang Terjebak dalam Keterbatasan

Pola ketiga adalah mediocracy, menggambarkan tim yang terjebak dalam mediokritas, di mana tidak ada dorongan untuk mencapai yang lebih baik. Dalam lingkungan seperti ini, ada kecenderungan untuk berpuas diri, beroperasi dengan standar rendah, dan lebih fokus pada masa lalu daripada melihat ke depan. Tim ini gagal untuk beradaptasi dengan perubahan atau menantang diri mereka sendiri untuk berkembang.

Karakteristik utama tim mediocracy ini meliputi, kurangnya kompetensi, beberapa anggota tim mungkin tidak memiliki keterampilan yang diperlukan, namun tetap dibiarkan berada di posisi mereka karena tidak ada yang menantang status quo. Kemudian tim terjebak dalam keberhasilan masa lalu, tim seperti ini sering kali terlalu fokus pada pencapaian sebelumnya dan tidak memiliki dorongan untuk mencapai hal-hal baru. Lalu tidak adanya inovasi, alias tidak ada dorongan untuk keluar dari zona nyaman, dan tim merasa cukup dengan cara kerja yang sudah ada. Tim seperti ini berbahaya karena mereka lamban dalam merespons perubahan di pasar, kehilangan peluang, dan akhirnya menyeret organisasi ke belakang.

Lalu bagaimana mengatasi disfungsionalitas dalam kepemimpinan tim di atas?

Setelah memahami tiga pola disfungsional ini, langkah selanjutnya adalah bagaimana para pemimpin bisa mengatasi masalah tersebut. Berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan:

  1. Membangun Kepercayaan: Dalam tim shark tank, penting untuk menciptakan lingkungan di mana anggota tim bisa saling percaya dan berbicara secara jujur tanpa merasa harus bersaing satu sama lain. Pelatihan komunikasi dan sesi pengembangan tim dapat membantu memperkuat rasa saling percaya ini.
  2. Mendorong Konflik Sehat: Di tim petting zoo, para pemimpin harus mendorong terjadinya konflik yang sehat. Ini bisa dilakukan dengan memfasilitasi diskusi terbuka dan mengajarkan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan diperlukan untuk mencapai solusi terbaik.
  3. Menetapkan Standar yang Lebih Tinggi: Untuk tim yang terjebak dalam mediocracy, pemimpin harus menetapkan harapan yang lebih tinggi dan memberikan tantangan baru kepada tim. Mendorong pembelajaran terus-menerus dan inovasi adalah kunci untuk keluar dari siklus mediokritas.
  4. Melakukan Rotasi Anggota Tim: Kadang-kadang, untuk mengatasi pola disfungsional, pemimpin perlu mempertimbangkan untuk melakukan perubahan pada komposisi tim. Rotasi anggota tim atau merekrut orang baru yang memiliki pandangan dan keterampilan berbeda dapat memberikan energi baru pada tim.
  5. Mengukur Kinerja Tim secara Berkala: CEO dan pemimpin senior harus melakukan evaluasi berkala terhadap kinerja tim kepemimpinan, baik dari segi hasil maupun dinamika internal. Dengan cara ini, masalah-masalah disfungsional dapat diidentifikasi lebih awal dan diperbaiki sebelum memburuk.

Kesehatan kepemimpinan dalam tim adalah kunci keberhasilan organisasi. Tim yang disfungsional, baik itu terjebak dalam pertarungan politik (shark tank), terlalu harmonis dan menghindari konflik (petting zoo), atau puas dengan mediokritas, dapat menghambat eksekusi strategi organisasi dan pencapaian tujuan yang lebih besar. CEO dan pemimpin senior harus waspada terhadap pola-pola ini dan mengambil langkah-langkah proaktif untuk menciptakan tim yang sehat, kompeten, dan dinamis. Karena pada akhirnya, tim yang kuat adalah fondasi untuk organisasi yang sukses.

Baca Juga

Komunikasi Korporat

Leave a Reply

Your email address will not be published.