Makan Tak Habis, Bumi Menangis: Mengelola Food Waste di Indonesia

Makan Tak Habis, Bumi Menangis: Mengelola Food Waste di Indonesia

Masa kecil kebanyakan masyarakat Indonesia diisi dengan kisah susah menghabiskan makan karena sedang semangat-semangatnya bermain. Ketika dihadapkan dengan situasi ini, biasanya para Ibu lantas mengeluarkan pernyataan pemicu empati supaya anaknya lekas menghabiskan makanannya dengan berujar “Ayo habiskan nasinya! nanti kalau tidak habis nasinya menangis lho” Beberapa anak menurut karena membayangkan kesedihan si nasi, meski banyak juga yang ngeyel tak habiskan makanan, ya itulah anak-anak.

Ketika tumbuh dewasa, akankah kisah masa anak-anak tersebut membekas di masyarakat dan tercermin dalam perilaku? Sayangnya, kalau melihat data pengolahan sampah terkini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengindikasikan sebaliknya. Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK di tahun 2023 mengungkapkan bahwa timbulan sampah di Indonesia mencapai 13,37 Juta ton banyaknya. Kebanyakan dari timbulan sampah tersebut datang dari rumah tangga sebesar 38,9% dan 40,96% dari total timbulan tersebut adalah sampah sisa makanan.

Masalah sampah sisa makanan ini juga turut dikaji oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam laporan Food Loss and Waste di Indonesia. Kajian ini dilakukan Bappenas yang bekerja sama dengan Waste4Change dan World Research Institute dan dipublikasikan pada tahun 2021. Hasilnya, ditemukan bahwa selama tahun 2000-2019, sampah sisa makanan di Indonesia mencapai 115-184 Kg/kapita/tahun yang porsinya kebanyakan muncul di tahap konsumsi.

Seandainya sisa makanan tersebut dapat dimanfaatkan, akan dapat mencukupi gizi 61-125 juta warga Indonesia. Terlebih lagi, dampak lebih lanjut dari sampah sisa makanan tersebut secara ekonomi diperkirakan sebesar 213-551 Triliun per tahun, serta berkontribusi pada 7,29% emisi gas rumah kaca secara rata-rata di setiap tahunnya. Jika permasalahan ini berlanjut dengan kondisi business-as-usual, maka diestimasikan jumlah timbulan sampah sisa makanan akan mencapai 344 Kg/kapita/tahun di tahun 2045 atau nyaris 200% dari kondisi 20 tahun belakangan.

Permasalahan sisa sampah makanan ini memiliki beberapa penyebab utama, salah satu yang utama adalah tentang porsi makanan dan perilaku konsumen. Budaya “lebih baik lebih daripada kurang” mendorong konsumsi makanan yang berlebih oleh masyarakat. Sehingga berdampak pada sisa/surplus makanan yang banyak jumlahnya dan berujung menjadi sampah/waste.

Pertimbangan adanya perilaku konsumsi berlebih inilah yang menjadikan strategi perubahan perilaku sebagai prioritas tinggi yang direkomendasikan Bappenas. Studi oleh Papargyropoulou et. al. (2014) juga menyuarakan rekomendasi yang sama, bahwa fokus penanganan sampah sisa makanan adalah mencegah makanan berlebih sehingga tak jadi sampah, atau setidaknya jika makanan berlebih, maka diadakan pemanfaatan ulang (re-use) dari kelebihan/surplus makanan tersebut. Pendekatan ini dapat akan melibatkan keseluruhan rantai pasok makanan.

Untungnya, generasi muda saat ini sudah mulai peka terhadap masalah sampah sisa makanan dan bergerak aktif dalam penanganannya. PT Ekonomi Sirkuler Indonesia menjadi salah satu startup yang mengembangkan bisnis untuk mengatasi masalah sampah makanan melalui solusi aplikasi Surplus. Seperti disampaikan pada laman resmi aplikasi Surplus (https://www.surplus.id/kisah-kami), makanan berlebih yang masih layak dikonsumsi tidak seharusnya dibuang begitu saja, namun bisa dijual kembali melalui aplikasi (Surplus) yang memudahkan proses tersebut.

PT Ekonomi Sirkuler Indonesia mengusung visi untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 2 (Zero Hunger), 12 (Responsible Consumption and Production), dan 13 (Climate Action). Solusi ini berhasil mengantarkan perusahaan tersebut meraih akreditasi B-Corp dan mendapat penghargaan Best App 2023 dari Google.

Solusi senada dengan model bisnis yang berbeda juga dapat dilihat dari Yayasan Daur Pangan Nusantara dengan inisiasi FoodCycle Indonesia yang bergerak sebagai organisasi non-profit yang juga mengusung visi untuk mengakhiri food waste dan kelaparan di Indonesia.

Operasional organisasi digambarkan dengan tiga tahapan, yaitu: (1) Mengumpulkan surplus makanan dari bisnis (toko roti, restoran, FMCG, dsb.); lalu (2) Mengecek kondisi makanan dan memastikan kelayakannya; sehingga dapat (3) Membagikannya kepada masyarakat kelompok rentan yang membutuhkan. Dari data laporan tahunannya, solusi FoodCycle berhasil menjangkau 122,1 ribu penerima manfaat, serta menyelamatkan 217,6 ton makanan dari nasibnya menjadi food waste.

Tentu masih banyak solusi dan strategi yang bisa dihadirkan untuk mengatasi masalah sampah makanan di Indonesia, baik dengan model bisnis for-profit maupun non-profit. Dengan implementasi strategi dan inisiatif menangani sampah makanan, Bappenas mengestimasikan dampaknya akan menekan laju timbulan sampah makanan menjadi 116 Kg/kapita/tahun dari yang semula 344 kg/kapita/tahun di tahun 2045.

Demi mendukung pencapaian ini, perlu keterlibatan seluruh pihak yang berperan, salah satunya adalah tiap-tiap dari kita para individu masyarakat Indonesia, mulailah dengan langkah kecil seperti menghabiskan makanan yang dibeli, tidak membeli makanan secara berlebih, dan mendukung bisnis dan inisiatif pemanfaatan makanan surplus.

Teruslah ingat pesan Ibu dan habiskan makanan, supaya Bumi tak menangis

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Baca juga artikel manajemen yang lain:

Food Loss dan Food Waste dalam Supply Chain Makanan

Bram Manuel

Leave a Reply

Your email address will not be published.