Kolaborasi Ibu Kota Negara Baru dengan Kawasan Industri Hijau Indonesia
Ibu Kota Negara (IKN) dirancang sebagai kota yang sejalan dengan konsep Green dan Sustainability, seperti desain kota yang sejalan dengan kondisi alam, 50% ditujukan untuk ruang hijau, moda transportasi umum berbasis energi terbarukan (misalnya listrik), bangunan yang rendah emisi karbon (menggunakan panel surya), dan menggalakkan pengolahan kembali sumber daya yang dipakai (circular).
Untuk sistem t ransportasi dalam kota IKN sendiri sudah dirancang agar tidak mengulang kondisi transportasi yang semrawut di Jakarta, misalnya melaksanakan konsep green network design, memanfaatkan teknologi untuk menunjukkan rute paling efisien, dan integrasi jaringan transportasi umum dengan lokasi pemukiman dan perkantoran. Secara akumulasi, langkah ini akan mengurangi biaya ekonomi akibat kemacetan.
Strategi di atas sudah menunjukkan komitmen jangka Panjang Indonesia dalam menjalankan tiga kesepakatan dalam mewujudkan Sustainability Development Goals di ruang lingkup perkotaan.
Kesepakatan pertama adalah Amanat Perjanjian Paris (Paris Agreement) 2015 untuk menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi 2 derajat Celcius, dan mengupayakan menjadi 1,5 derajat Celcius.
Yang kedua adalah UU No 16/2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement, dengan target Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% tanpa syarat di bawah business-as-usual (BAU) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.
Sedangkan yang Ketiga adalah Komitmen Sektor Energi, yaitu menurunkan emisi GRK sebesar 314-446 Juta Ton CO2 pada tahun 2030, melalui pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih.
Sekitar 760 kilometer ke Utara dari Ibu Kota yang baru ini dibangun sebuah Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di wilayah Tanah Kuning, Kabupaten Bulungan, seluas 30.000 hektar. KIHI ini akan menjadi kawasan industri terbesar di dunia.
Kawasan industri hijau ialah kawasan industri di mana setiap industri dan perusahaan di Kawasan ini menggunakan teknologi dan proses produksi ramah lingkungan di sepanjang jaringan Supply Chain-nya. Misalnya menggunakan pembangkit tenaga listrik menggunakan air, angin, surya, atau teknologi lain. Prinsip ini juga diterapkan pada aktivitas return di Supply Chain perusahaan, misalnya mengolah kembali produk yang telah dikonsumsi (recycle), atau mengolah limbah buangan dari proses produksi/manufakturnya.
Pembangunan kawasan ini merupakan hasil kerja sama investasi antara Indonesia, China, dan Uni Emirat Arab (UEA) dengan nilai investasi sebesar Rp186 triliun. Konstruksi ditargetkan rampung pada 2024 dan operasinya direncanakan bertahap hingga 2029.
Pembangunannya membutuhkan 100.000 tenaga kerja, dan saat beroperasi membutuhkan 200.000 tenaga kerja langsung. Selain itu akan dibangun juga fasilitas pendukung KIHI, seperti pelabuhan, bandara, hotel dan akomodasi karyawan.
Bayangkan berapa lapangan kerja total tersedia ketika industri ini melibatkan supplier dan UMKM lokal, usaha transportasi, usaha penyedia bahan makanan, akomodasi, kebutuhan hidup seperti pakaian, obat-obatan, barang konsumsi, misalnya tenaga kerja di minimarket dan tenaga kerja distributor, serta tenaga kerja pemeliharaan moda transportasi, tenaga kerja di bidang Pendidikan tingkat Dasar-Menengah-Tinggi dan Vokasi, tenaga kesehatan, tenaga keamanan, hiburan dan fasilitas olahraga.
Sebagai catatan, hasil studi Universitas Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa setiap investasi US$ 1 Juta di memberikan dampak multiplier effect sebesar US$ 1,6 Juta.
KIHI ini dirancang untuk meningkatkan nilai tambah (value added) bahan mentah milik Indonesia, sehingga mendorong hilirisasi dan ekspor berupa barang jadi. Misalnya pabrik baterai (hilirisasi dari nikel), pabrik solar panel, pembangunan smelter.
Tujuan yang kedua dari KIHI adalah mendukung program Pemerintah terkait penurunan emisi karbon pada 2030 melalui penggunaan kendaraan listrik. Sehingga, kehadiran KIHI ini akan mengangkat nama Indonesia di dunia internasional karena dampak lingkungan (environment) dan ekonomi (economy) yang sejalan dengan prinsip Sustainability Development Goals.
Jarak dari IKN ke KIHI ini kira-kira sama dengan jarak Jakarta ke Surabaya. Bukan tidak mungkin dalam waktu 20 sampai 30 tahun ke depan akan terbentuk semacam Jalur/Sabuk Pemerintahan-Perekonomian, sebagai cluster baru episentrum pertumbuhan Indonesia.
Bagi pengusaha domestik, kehadiran IKN dan KIHI menjadi peluang untuk mendistribusikan berbagai produk konsumsi dan kebutuhan hidup lain yang diolah dan diproduksi di Jawa untuk dikonsolidasikan sehingga mencapai economy of scale dan biaya yang lebih murah menuju Kalimantan Utara.
*Tulisan ini dimuat di SWA Online