Ketika Prahara STY Singgah di Dunia Kerja

Ketika Prahara STY Singgah di Dunia Kerja

Awal 2025 jagad sepak bola Indonesia diguncang prahara. Shin Tae-Yong (STY), pelatih yang membawa timnas ke puncak popularitasnya, tiba-tiba dipecat oleh PSSI.

Publik terbelah. Sebagian mendukung keputusan itu sebagai tindakan korektif, sebagian lagi mengecamnya sebagai sebuah keputusan keliru. Media sosial pun menjadi medan pertempuran antara emosi dan logika.

Namun, di balik hiruk-pikuk ini, ada inspirasi universal yang bisa kita pelajari tentang kepemimpinan, keberanian mengambil risiko, dan paradoks loyalitas dalam dunia kerja.

STY bukan sekadar pelatih bola biasa. Publik menilai bahwa pelatih asal Korea Selatan ini telah mampu menoreh sejarah gemilang bagi sepakbola Indonesia. Tidak hanya soal kenaikan peringkat dunia, namun penampilan di berbagai ajang internasional telah berhasil mengharumkan nama bangsa.

STY dipandang sebagai sosok yang berjasa dalam sejarah sepakbola Indonesia. Namanya harum, kualitasnya pun diakui. Bahkan, jutaan suporter turut mengelukan sosoknya layaknya selebritas papan atas.

Namun, tampaknya Erick Tohir selaku ketua PSSI harus mengambil keputusan yang berisiko untuk memecat STY di tengah kepopulerannya saat ini. Publik pun bereaksi, PSSI sebagai federasi sepakbola Indonesia juga turut mendapat luapan kekecewaan yang luar biasa.

Puluhan klarifikasi telah disampaikan, baik melalui ketua umum, pengurus pusat, maupun executive committee (exco) yang acapkali tampil pasang badan atas polemik yang berkembang. Namun tampaknya publik tak mudah puas atas keputusan ini.

Semua orang seakan ingin bertanya terus menerus, apa alasan PSSI memecat STY di saat lanjutan pertandingan untuk kualifikasi Piala Dunia semakin dekat dan genting. Jika memang harus diganti, banyak orang menyayangkan, kenapa tidak menunggu empat pertandingan kualifikasi lagi di semester awal 2025 ini

Alasan komunikasi, dinamika tim, ketidakcapaian target adalah beberapa topik yang seringkali dibahas dalam berbagai debat dan diskusi. Namun, keputusan sudah diambil. PSSI telah mempertimbangkan dengan matang, termasuk segala risiko yang akan menghadang. Pemecatan STY adalah keputusan final dan pelatih baru pun sudah siap unjuk gigi.

Tidak Ada Posisi yang Abadi

Prahara pemecatan STY di puncak popularitasnya menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa sebuah posisi tak akan kekal selamanya. Bahkan, sosok yang berkualitas dengan segala prestasinya seperti STY bisa saja diganti secara tiba-tiba.

Sebuah organisasi harus membentuk sistem berkelanjutan, bukan hanya mengandalkan satu dua sosok semata. Karena itu, PSSI berani mengambil risiko dengan keputusan strategis ini.

Bisa saja keputusan ini menjadi sebuah gebrakan baru untuk keberlanjutan timnas lebih baik di masa mendatang. Sebagai Ketua Umum PSSI yang memiliki latar belakang sebagai seorang CEO, Erick Thohir tentu memiliki kemampuan analisis strategi yang mendalam, dan tampaknya keputusan berisiko ini adalah bagian dari kajian strategis yang telah ia lakukan.

Situasi ini mengantarkan kita untuk memandang hal yang sama di dunia kerja. Prahara kisah STY yang dipecat tiba-tiba bukanlah perkara baru dalam sebuah organisai. Seorang karyawan yang populer dan penuh dengan prestasi bisa saja digeser dari sebuah posisi karena keputusan strategis perusahaan yang harus dilakukan.

Pemecatan atau reposisi karyawan di sebuah perusahaan bukan semata-mata karena ketidaksukaan atau prahara emosional sesaat. Namun, bagi seorang pemimpin yang visioner, pengaturan komposisi karyawan merupakan keputusan strategis yang berisiko tinggi.

Tiap putusan tentu akan menghadapi pro kontra penerapannya. Namun, bisnis tetap harus berjalan. John Kotter, profesor kenamaan di bidang transformasi organisasi menyatakan bahwa perubahan memang tidak mudah diterima. Butuh waktu untuk menyesuaikan, dan kondisi itu yang harus dihadapi ketika ada reposisi atau perubahan komposisi karyawan di dalam sebuah tim kerja.

Walau Sang Profesor mengemukakan delapan langkah untuk beradaptasi dengan perubahan secara cepat, namun, konsistensi dalam menghadapi perubahan itu adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari oleh tiap individu di organisasi. Reposisi menjadi sebuah dinamika yang harus dihadapi dan visi utama organisasi harus berada di atas segala kepentingan dan perasaan emosional tiap individu di dalamnya.

Prahara STY ini juga mengajarkan kita bahwa dalam sebuah organisasi, tidak boleh ada pengkultusan pribadi. Jika organisasi bergantung pada satu-dua individu maka keberlanjutan sistem akan terancam keberadaanya. Karena itu, pemimpin yang strategis akan selalu fokus pada pengembangan sistem yang ada, termasuk sistem pengelolaan talenta yang menjadi modal utama jalannya proses bisnis sebuah organisasi.

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Baca Juga

Noveri Maulana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *