Kearifan Lokal untuk Kepemimpinan Global

Kearifan Lokal untuk Kepemimpinan Global

Dari Ki Hajar Dewantara ke Konsensus Nasional

Kearifan lokal dalam kepemimpinan ala Indonesia sering dikaitkan dengan petuah yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara berupa momong, among, dan ngemong. Konsep yang awalnya diterapkan di Taman Siswa tersebut kemudian dikembangkan menjadi tiga prinsip kepemimpinan Taman Siswa: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Dan sekarang akademisi dan praktisi banyak mengutip petuah tersebut dalam kepemimpinan di berbagai institusi, tidak hanya pendidikan.

Konsep tersebut sangat mengena untuk dunia pendidikan. Ing ngarso sung tulodo. Guru mesti menjadi contoh. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Jadi bisa dibayangkan, bila guru yang memimpin anak-anak mengalami proses pembelajaran memberi contoh yang buruk, anak didik akan berbuat lebih buruk lagi. Ing madyo mangun karso. Guru mesti menjadi pemimpin yang mampu membangun semangat belajar. Juga mendorong terciptanya ide-ide segar, peserta didik didorong untuk bertoleransi, menerima ide sesama peserta didik, untuk mencari dan mengembangkan ide terbaik. Hal itu berujung ke pengembangan pemahaman, konsep, keilmuan, bahkan solusi. Tut wuri handayani. Guru, pemimpin, bisa dan berani memberi tanggung jawab kepada ana didik, anak buah. Berani memberi delegasi. Ini tentu membutuhkan kemampuan sang guru, sang pemimpin untuk mengenal kemampuan dan kematangan mereka sehingga sudah saatnya untuk mendapat tanggung jawab, bahkan kewenangan.

Bila ketiga konsep tersebut diterapkan secara konsisten dan berkualitas, makan anak didik dan anak buah mampu menjadi orang-orang yang merdeka dan berkinerja maksimum. Merdeka, karena dengan kesadaran kemampuannya melakukan yang terbaik, sekaligus menghargai kemerdekaan koleganya. Berkinerja maksimum karena yang bersangkutan terlatih untuk memegang tanggung jawab yang diembankan kepadanya.

Kearifan lokal dalam kepemimpinan, termasuk kepemimpinan sektor korporasi dan ekonomi, masih perlu diperkaya dengan hasil galian nilai-nilai bangsa Indonesia. Secara singkat, hasil penggalian tersebut tertuang dalam empat konsensus nasional, yang berupa Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 atau disingkat UUD 1945, Sesanti Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

Kalau melihat sejarah, terbentuknya keempat konsensus nasional tersebut memang melalui perjuangan politik. Dimulai dari praktik nilai-nilai kebangsan dalam kehidupan bermasyarakat, kemudian perjuangan tiap-tiap daerah terhadap penjajah. Setelah disadari ketidakberhasilan perjuangan tiap daerah, maka masyarakat bersatu melalui pergerakan anak-anak muda, yang melahirkan banyak tokoh, yang salah satunya adalah Sukarno.

Menjelang, selama proses, dan pasca proklamasi kemerdekaan, konsensus nasional terus ditermahkan kembali dalam kehidupan nasional. Pada awalnya memang kental dengan praktik-praktik konsensus nasional dalam kehidupan politik atau berbau politik. Misalnya, nilai-nilai dalam konsensus nasional diajarkan secara detail dan praktis bagi mereka-mereka yang secara potensial menjadi pimpinan bidang politik, pemerintahan, atau ASN.

Lembaga Ketahanan Nasional, atau Lemhannas, menjadi motor pengembangan dan penyebaran konsep kepemimpinan nasional berbasis konsensus nasional untuk seluruh jenis pemimpin. Bukan saja untuk pemimpin dunia politik, pemerintahan, dan ASN. Tetapi juga pemimpin korporasi, baik perusahaan milik negara dan daerah, juga perusahaan swasta. Kalau pemimpin korporasi juga memahami dan menerapkan nilai-nilai kepemimpinan berbasis kearifan lokal tersebut, maka gaya kepemimpinan di Indonesia dengan kearifan Indonesia, bisa menjadi keunikan dan sekaligus membangun keunggulan bersaing.

Lima Nilai Kearifan Lokal Berdasarkan Pancasila

Bagaimana menterjemahkan nilai-nilai kearifan lokal berbasis konsensus nasional? Khususnya, bagaimana kepemimpinan korporasi di Indonesia dengan kekhasan nilai-nilai kearifan lokal? Berikut secara ringkas beberapa pokok pikiran nilai-nilai kearifan tersebut dalam konteks kepemimpinan korporasi berbasis salah satu konsensus nasional, yaitu Pancasila. Mengacu kepada lima nilai-nilai kebangsaaan dalam Pancasila yang dikembangkan oleh Lemhannas, berikut ini adopsi kelima nilai tersebut dalam kepemimpinan korporasi.

Nilai 1: Religiusitas

Kepemimpinan dengan religiusitas secara harafiah terkait dengan pengakuan pada religi, agama-agama, yang setara di Indonesia, yang berbasis pada ketuhanan. Dalam pengertian yang universail seperti dikembangkan oleh Fry, istilah yang digunakan adalah kepemimpinan ber-spiritual, spiritual leadership. Dalam praktiknya, religious leadership bisa dianggap setara dengan spiritual leadership.

Pada prinsipnya, religious leadership bukan terletak pada keyakinan beragama, praktik beragama, pengalaman beragama, atau pengetahuan beragama. Sekalipun keempat hal tersebut perlu sebagai landasan, pemimpin menekankan dan perlu menunjukkan konsekuensi beragama dalam values, attitudes, dan behavior yang diamalkannya. Values, attitudes, dan behavior tersebut menjadi landasan dalam beberpa hal. Pertama, dalam membangun visi organisasi. Kedua, dalam hal membangun keyakinan masa depan organisasi. Ketiga, dalam menunjukkan rasa cinta kasih kepada para pemangku kepentingan.

Religious leaders tidak terjebak pada pengutamakan kinerja ekonpomi semata-mata, apalagi dengan menghalalkan segala cara untuk mengejar laba dan pertumbuhan. Dan juga tidak terjebak pada pengutamakan salah satu agama atau penganut agama, atau menekankan pada praktik, pengalanan, dan pengetahuan beragama. Tetapi lebih pada nilai-nilai spiritual, yang secara keseharian tampak pada sikap, ucapan, tindakan, kemauan menolong, kesediaan bekerjasama dengan semua orang. Dan yang sangat penting adalah kemampuan dalam menghayati pekerjaan sebagai salah satu wujud dari makna kehidupan dan meyakini bahwa yang dikerjakannya adalah sebuah panggilan hidup.

Nilai 2: Kekeluargaan

Pemimpin yang memegang nilai-nilai kekeluargaan adalah dia yang memandang setiap orang memiliki kedudukan yang sama dan sederajad sebagai insan. Perbedaan dalam hal jabatan, posisi, kedudukan, keahlian, maupun pangkat di dalam organisasi sama sekali tidak mengurangi kesamaan dan kesederajadan setiap pemangku kepentingan, termasuk karyawan, dalam menjalankan organisasi.

Kesamaan tersebut tercermin dalam perlakuan yang adil sesuai dengan posisinya dalam pemangku kepentingan. Baik dalam tangung jawab, wewenang, dan imbalan atau penghargaan yang dberikan secara adil. Adil tidak berarti sama atau merata.

Pemimpin yang adil, yang menerapkan fair leadership, berusaha untuk jernih dan akuntabel dalam menghadapi masalah. Tidak bias karena kepentingan atau keberpihakan. Adil sejalan dengan independensi dalam melihat dan memecahkan masalah organisasi, termasuk masalah antar karyawan maupun pemangku kepentingan lainnya.

Dalam hal absennya peraturan, pemimpin berperikemanusiaan terkadang perlu menggunakan golden rule: membuat keputusan terbaik bagi orang lain seperti membuat keputusan untuk diri sendiri; atau membuat keputusan orang lain seperti yang kita harapkan kalau orang lain membuat keputusan untuk kita sendiri; jujur, dan dengan memperhatikan situasi setiap orang terkait. Dalam kondisi seperti itu, atau dalam kondisi ketidaksesuaian aturan yang ada, pemimpin berani untuk berinisiatif mengubah atau menyempurnakan aturan.

Nilai 3: Keselarasan

Pemimpin yang berpegang pada prinsip keselarasan dapat disetarakan dengan harmony leader. Dalam hal pencapaian tujuan, kepemimpinan selaras atau harmoni berusaha menyeimbangkan tujuan dan cara mencapainya dan memperhatikan budaya atau peradaban masyarakat. Dalam hal hubungan dengan sesama dan pemangku kepentingan, pemimpin selaras, atau pemimpin dalam keselarasan adalah pemimpin yang mampu mempengaruhi dan menggerakkan orang lain dengan cara yang bersahabat, tidak menimbulkan konflik terbuka.

Secaa positif, pemimpin dalam keselarasan mampu menimbulkan kehidupan organisasi yang tentram, rukun, semua berkarya dengan senang dan optimum karena masing-masing menempati posisi yang sesuai dengan harapan dan kapasitas.

Mengacu pada Nilai-nilai Kebangsaan yang Bersumber dari Pancasila, keselarasan memiliki beberapa makna. Pertama, setiap orang diakui dan dihormati sesuai dengan kedudukannya dan semua orang hidup dengan rukun. Kedua, individu mendahulukan kepentingan umum untk menghindari pecahnya konflik terbuka. Ketiga, perilaku sopan di lingkungan kerja dan mengikuti norma yang berlaku. Keempat, setiap orang, termasuk pemimpin berperilaku bebas dari pamrih, tidak mengharapkan hal di luar haknya. Kelima, pemimpin memegang etika keselarasan, yang mengandung makna upaya menjaga keselarasan, berusaha keras dalam memenuhi kewajiban, menempatkan segala sesuatu sesuai tempatnya, dan menggunakan rasa sebagai salah satu pandu perilaku.

Dalam konteks era saat ini, keselarasan perlu dipahami secara dinamis. Pemimpin perlu menterjemahkan dinamika dari keselarasan dalam beberapa hal. Pertama, pemimpin yang baik perlu memberi kesempatan terjadinya konflik yang terkendali. Konflik terjadi karena perbedaan data, informasi, dan sudut pandang. Selama perbedaan dan konfilk tersebut mampu menghasilkan ide baru dan inovatif, maka konflik tersebut perlu didorong. Yang penting adalah tidak sampai terjadi konflik terbuka dan personal.

Keselarasan yang dinamis juga memberi kesempatan setiap orang untuk berkreasi, melalui creation dan invention, yang ujungnya adalah inovasi. Dalam masyarakat atau organisasi tradisional, terkadang sulit mengembangkan dan menerima ide baru atau karya kreatif, karena bisa mengubah tatanan. Tugas pemimpin adalah memastikan bahwa perubahan perlu dilakukan, dan ide baru dan karya baru didorong untuk menjadi piranti perubahan ke arah yang lebih baik dengan tetap menjaga keselarasan yang utama, yaitu kehidupan dalam organisasi yang tetap bersahabat dan pengutamaan kepentingan bersama.

Nilai 4: Pemangku Kepentingan

Dalam konteks kehidupan masyarakat, Lemhannas menamai nilai keempat dengan kerakyatan. Dalam kontrks korporasi, istilah kerakyatan bisa diadaptasikan dengan sebutan pemangku kepentingan. Dan untuk konteks internal korporasi, kerakyatan setara dengan hubungan kekaryaan, antara pemimpin dan pengikuti, antara konsep leadership dan followership. Secara umum, pemimpin juga pengikut, tergantung pada konteks dan waktu. Manajer senior adalah pemimpin bagi karyawan di bawahnya, tetapi dia adalah pengikut bagi atasannya.

Pertumbuhan dan kelanggengan korporasi tergantung pada pemimpin dan pengikut, leaders dan followers. Oleh karena itu, pemimpin yang baik juga mampu menjadi pengikut yang baik. Dan pemimpin yang baik mampu membentuk pengikut yang baik. Pemimpin yang baik mampu menterjemahkan kepentingan pemangku kepentingan ke dalam aturan main, termasuk di dalamnya adalah tata kelola, kebijakan, dan aturan-aturan dalam organisasi.

Aturan main dalam organisasi bersifat unik, dikembangkan berdasarkan visi dan misi organisasi, nilai-nilai yang dipegang, dan arah strategis organisasi. Aturan-aturan tersebut dapat ikut membangun follwership yang baik, yang dicirikan beberapa hal. Pertama, followers menjalankan peran untuk membangun organisasi secara antusias dan patriotik. Yaitu melakukan terbaik untuk korporasi tempat berkarya. Kedua, mereka juga bersedia berjuang bersama membangun korporasi untuk pertumbuhan dan kelanggengan korporasi. Dan ketiga, bisa menjadi pendamping pimpinan yang baik, terutama saat pemimpin tidak berada pada performa terbaik. Followers dapat memberi masukan, saran, bahkan membantu supaya pemimpin dan organisasi bisa tetap berada pada jalur organisasi yang benar.

John S. McCallum, dalam tulisannya berjudul Folowership: The Other Side of Leadership, menyebut delapan jenis ukuran kualitas followers yang baik. Pertama, mampu membuat pertimbangan berdasarkan etika dan kepantasan. Salah satunya, bisa membedakan antara apakah arahan yang diberikan pimpinan tidak Anda setujui tapi masih benar, etis, dan pantas, atau arahan tersebut Anda nilai salah. Kedua, follower yang baik adalah pekerja yang baik, antusias, memiliki komitmen, dan memberi perhatian sampai detail. Ketiga, membangun kompetensi supaya dapat menjalankan peran sebaik mungkin. Keempat, jujur, termasuk memberi masukan kepada pemimpin bila rencana pemimpin kurang baik, cacat.

Kelima, berani berlaku jujur, termasuk ketidasetujuan terhadap rencana atasan bila memang harus tidak setuju. Keenam, bijaksana, menjalankan tugas kehati-hatian, duty of care. McCallum mengatakan “Talking about work matters inappropriately is at best unhelpful and more likely harmful. Discretion just means keeping your mouth shut”. Ketujuh, loyal terhadap organisasi, memiliki kesetiaan dan komitmen terhadap hal-hal yang dilakukan dan ingin diraih organisasi. Dan kedelapan, mampu mengendalikan ego.

Nilai 5: Keadilan

Keempat nilai di atas menjadi tidak bermakna bila pemangku kepentingan merasa tidak adil. Dan keadilan tersebut mencakup tigas aspek, berupa keadilan ekonomi, keadilan sosial, dan paradigma HAM. Tantangan pemimpin adalah bahwa keadilan bersifat dinamis. Yang tadinya adil, bisa dianggap tidak adil di waktu berikutnya. Oleh karena itu pemimpin perlu dengan jeli dan rajin meninjau persepsi tentang keadilan yang diterapkan, diterima, dan dirasakan oleh pemangku kepentingan.

Keadilan ekononi terkait dengan seberapa besar pemangku kepentingan ikut berpartisipasi dalam proses produksi dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya, baik berupa kapital, kemampuan sebagai buruh, pemilik sumber daya, atau teknologi. Atas dasar partisipasi tersebut, setiap pemangku kepentingan ikut menikmati hasil melalui distribusi yang adil. Pemimpin dan organisasi perlu menetapkan distribusi berbasis kontribusi dan kebutuhan supaya diterima sebagai praktik yang adil. Untuk mengontrol partisipasi dan distribusi, keadilan ekonomi juga memasukkan unsur harmoni, untuk memastikan partisipasi secara merata tanpa ada kecenderungan monopoli dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

Keadilan sosial terkait dengan struktur pemangku kepentingan, dan khususnya karyawan dalam korporasi. Tiap pemangku kepentingan memiliki kebutuhan dan kekuatan untuk mempengaruhi korporasi secara berbeda. Semakin lebar rentang kemampuan mempengaruhi korporasi, maka struktur tersebut semakin banyak lapisannya. Demikian juga dengan karyawan. Semakin tinggi perbedaan struktur tertinggi dan terendah dalam organisasi, maka semakin besar struktur sosial di dalam korporasi tersebut. Tantangan pemimpin adalah bagaimana menerapkan keadilan struktural bagi karyawan. Salah satu instrumen yang bisa digunakana dalah rasio penghasilan tertinggi dan terendah di dalam korporasi

Paradigma HAM dalam korporasi berfungsi untuk memastikan bahwa aturan korporasi dan perundangan yang berlaku diterapkan secara adil dan konsisten. Aturan yang berlaku di sebuah korporasi berperan sebagai instrumen untuk mengarahkan setiap pemangku kepentingan ke format partisipasi yang dikehendaki, sekaligus sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di korporasi. Langkah Berikut

Kelima nilai-nilai di atas diturunkan dari Pancasila. Rumusan umum dikembangkan oleh Lemhannas, dan tulisan ini mengadaptasikan ke dalam model kepemimpinan korporasi. Penerapan nilai-nilai tersebut di sektor bisnis diharapkan bisa ikut membangun daya saing perusahaan dan industri nasional melalui penerapan gaya kepemimpinan dengan kearifan lokal untuk memasuki persaingan global.

Paling tidak ada dua hal yang perlu ditindaklanjuti dari uraian di atas. Tindak lanjut pertama adalah menterjemahkan nilai-nilai di atas ke dalam parameter dan ukuran supaya bisa diterapkan dan dimonitor di dalam aplikasi bagi korporasi. Tindak lanjut kedua adalah melengkapi nilai-nilai di atas berdasarkan tiga konsensus lainnya, yang akan dituangkan dalam tulisan lainSemoga bisa segera dikeluarkan untuk dipelajari bersama.

*Tulisan ini dimuat di BUMN Track Online

Profesor Bramantyo Djohanputro

1 Comment

  • thanks a lot of information keren

Leave a Reply

Your email address will not be published.