Isu Kesetaraan Gender dalam Jaringan Supply Chain

Isu Kesetaraan Gender dalam Jaringan Supply Chain

Menurut ILO (2020), 37% dari total tenaga kerja sektor pertanian di seluruh dunia adalah wanita. Dari sumber yang sama, hanya 14% posisi manajerial pada sektor pertanian yang ditempati oleh wanita. Jumlah inilah yang perlu diperjuangkan agar mencapai kesetaraan hak bagi penghidupan dan pekerjaan, serta (wanita) memperoleh tanggungjawab yang sama dengan laki-laki dalam menunjukkan kinerjanya.

Di banyak wilayah, wanita banyak bekerja di lingkungan kerja di mana kondisi budaya dan sosialnya membatasi perilaku dan peran wanita. Kondisi ini membatasi potensi wanita untuk berkontribusi di dalam perekonomian, dan akhirnya menghambat wanita untuk berperan lebih besar bagi sebuah jaringan supply chain.

Di jaringan supply chain pertanian dan pakaian, tidak sedikit wanita yang bekerja di kondisi kerja yang tidak sehat, tidak adanya (atau minim) asuransi kesehatan, dan kurang dilibatkan untuk hal-hal yang strategis. Selain itu, wanita seringkali mengalami berbagai bentuk diskriminasi gender, sehingga proses produksi di sebuah jaringan supply chain melibatkan bentuk diskriminasi tersebut.

Meski demikian, produk akhir dari jaringan supply chain tetap sesuai kebutuhan konsumen, namun di balik itu ada proses yang sebenarnya bermasalah. Masalahnya, konsumen seringkali hanya menilai dari produk akhir yang berkualitas tanpa mempunyai akses yang seluas-luasnya -dan mungkin konsumen tidak tertarik- untuk mengetahui bagaimana proses produksi dari produk yang dikonsumsinya.

Dampaknya adalah tenaga mereka kurang memperoleh manfaat (benefit, seperti gaji) yang sesuai kontribusinya dibandingkan dengan jam kerja berlebih yang dialami pekerja wanita. Selain itu, tidak sedikit pekerjaan yang dikerjakan oleh wanita di sebuah jaringan supply chain merupakan pekerjaan berat dan rentan terhadap keamanan kerja (FAO, 2018).

Jika kita mengamati peran dan value added tenaga kerja wanita di sebuah jaringan supply chain, maka isu ini paling sering muncul pada sektor penghasil value added terendah di jaringan supply chain adalah sektor produksi atau manufaktur.

Untuk mengamati value added yang tercipta pada setiap proses di jaringan supply chain kita dapat menggunakan konsep smile curve. Pada tahun 1925, Stan Shih, pendiri perusahaan Acer, mengemukakan konsep tersebut. Konsep ini menyatakan bahwa di setiap tahapan dalam proses produksi produk teknologi informasi sampai dengan tahap pemasaran (marketing) menghasilkan value added yang berbeda.

Menurutnya, tahapan desain produk dan pemasaran mengendalikan value added tertinggi dibandingkan pada proses yang berada di tengah, yaitu tahap produksi atau manufacturing. Lebih lanjut, Frederick (2010) menganalisa konsep Smile Curve pada industri tekstil.

Jika sebuah jaringan supply chain yang dipetakan menurut value added yang disediakan oleh setiap perannya masing-masing (Smile Curve, Ilustrasi 1), maka tenaga kerja wanita yang paling mendesak untuk memperoleh kesetaraan gender adalah pada peran Production .

Ilustrasi 1 Smile Curve Pada Sebuah Global Value Chain

Dapat diibayangkan jika tenaga kerja wanita memperoleh upah minimum, sekaligus mengalami diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan. Sungguh sangat besar beban yang ditanggung. Namun isu ini jarang ditampilkan ke permukaan, sekalinya terekspos, maka nama baik sebuah produk akan tercoreng.

Selain itu, masih ada beberapa risiko lain terkait diskriminasi gender, misalnya:

  • Tenaga kerja wanita dengan pendapatan rendah dan kontrak kerja jangka pendek tidak memiliki daya tawar untuk negosiasi bagi posisi dan peran mereka di perusahaan. Sehingga atasan terkesan semena-mena terhadap mereka.
  • Tenaga kerja wanita memiliki akses terbatas untuk mencapai level tinggi di perusahaan dibandingkan tenaga kerja pria.
  • Tenaga kerja wanita cenderung mendapat porsi yang lebih kecil dalam pengambilan keputusan perusahaan dan di serikat buruh. Perlu promosi adanya kuota gender bagi posisi-posisi penting di perusahaan. Pada posisi level atas (misalnya Direksi), tenaga kerja wanita memiliki peluang sembilan (9) kali lebih besar daripada tenaga kerja pria untuk menjadi satu-satunya tenaga kerja wanita yang ada di ruangan Direksi . Maksudnya adalah pada posisi puncak jauh lebih sering hanya ada seorang wanita di antara pria.

Untuk mengantisipasi isu diskriminasi gender pada sebuah jaringan supply chain dibutuhkan peran berbagai pihak, seperti Pemerintah dan Perusahaan. Pemerintah berperan dalam merancang dan mensosialisasi kebijakan, peraturan, dan standarisasi nasional yang mengatur dan melindungi peran tenaga kerja di segala sektor. Pelaksanaan di lapangan ini perlu dilakukan dengan ketat dan tidak terbatas pada aktivitas audit yang hanya dilakukan satu kali dalam setahun.

Pemerintah perlu memfasilitasi dan menjamin berbagai keterbukaan informasi terkait kondisi kerja di berbagai industri dan perusahaan, serta informasi kepada masyarakat yang berperan sebagai pengawas jalannya perusahaan.

Di samping Pemerintah, semua perusahaan secara bersama-sama perlu menetapkan kebijakan dan persyaratan yang baik dan benar bagi seluruh tenaga kerjanya. Jika semua perusahaan pada sebuah jaringan supply chain belum memiliki tujuan dan kebijakan bersama, maka isu gender ini akan selalu menyertai jaringan tersebut.

Semua pihak perlu bersama-sama memonitor, mengaudit, menerapkan kepedulian terhadap isu ini.

*Tulisan ini dimuat di BUMN Track Online

Baca Juga

Ricky Virona Martono

Leave a Reply

Your email address will not be published.