Isu Industri Tekstil Nasional: Too Connected To Fail

Isu Industri Tekstil Nasional: Too Connected To Fail

Pada awal Maret 2025, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit oleh tim kurator Sritex dengan total utang mencapai Rp32,6 Triliun. Sekitar 10.000 karyawannya terkena PHK, meski pemerintah berulang kali menegaskan akan membantu tapi berbagai upaya yang dilakukan tidak membawa hasil. Namun demikian, masih terbuka bagi investor yang ingin menggunakan aset dan mesin produksi Sritex.

Mengapa isu ini kemudian banyak dibahas di berbagai media? Selain nilai utangnya dan jumlah karyawan terkena PHK yang jumbo, kejadian ini ibarat sebuah Iceberg yang memayungi jaringan supplier, multiplier effect bagi masyarakat sekitar, dan masa depan industri tekstil Tanah Air.

Ada begitu banyak supplier lokal yang memasok bahan mentah tekstil yang berkurang demand-nya ketika Sritex berhenti beroperasi. Ditambah lagi dengan distributor yang mengalami penurunan aktivitas dan kapasitas. Jika kapasitas supplier dan distributor terpaksa diturunkan, bukan tidak mungkin pada gilirannya nanti karyawan mereka juga akan terkena PHK.

Setiap karyawan yang terkena PHK ini tentu akan mengurangi pengeluarannya sampai memperoleh pekerjaan yang baru. Berbagai usaha di sekitar perusahaan tersebut akan ikut mengalami penurunan pemasukan, seperti pemondokan dan rumah makan. Jika ini dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, akumulasi menurunnya konsumsi berdampak pada aktivitas ekonomi menurun dan juga mengancam output industri tekstil nasional.

Distributor dan konsumen akan mencari alternatif produk yang biasanya dikirim dan dibeli, dan kebiasaan di Indonesia adalah memenuhi kekurangan output ini dengan mengimpor produk tekstil yang semakin membebani industri tekstil nasional dan mungkin devisa negara. Bukan hanya itu, kebanggaan Indonesia sebagai produsen sandang semakin tersaingi negara lain.

Efek berantai dan risiko dari situasi di atas dapat dijelaskan dengan konsep “Too Connected to Fail” yang diperkenalkan oleh Andrew G. Haldane pada tahun 2009. Dalam konsep ini, risiko sistemik bukan hanya mengenai ukuran bisnis (size), namun juga keterhubungan (connectedness).

Dampak dari efek ini adalah sistem keuangan yang akan menanggung utang perusahaan. Konsep ini menekankan keterkaitan (connected) dari sebuah perusahaan dengan pemasoknya, distributor, dan ekosistem industrinya.

Kita lihat pada kasus PT Sritex bahwa keterhubungan perusahaan ini yang begitu besar berpotensi memunculkan berbagai masalah lain di masa depan di sepanjang jalur rantai pasoknya.

Selain mengancam keberlangsungan perusahaan dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di sisi hulu jaringan rantai pasok PT Sritex, fenomena Iceberg juga akan memunculkan kenyataan bahwa selama ini segenap stakeholder belum siap menghadapi guncangan.

Sebagai contoh, pemerintah belum mantap dengan tekadnya membantu perusahaan lokal, berbagai perusahaan belum siap menghadapi krisis dan tidak kompeten melakukan efisiensi, utang yang belum terbayarkan akan membebani kreditur, institusi keuangan sulit percaya untuk mengucurkan investasi kepada investor baru, masyarakat pun tidak serta merta mampu membangun usaha baru yang sama baiknya.

Keterhubungan (connectedness) yang ambruk ini seakan-akan memunculkan berbagai kekurangan yang selama ini tertutup oleh gunung es (fenomena Iceberg). Tidak ada yang dapat menjamin jika berbagai industri nasional tidak mengalami fenomena yang sama. Jika semua stakeholder tidak memiliki kesadaran dan inisiatif memperbaiki maka kejadian yang serupa dapat muncul di industri lain.

Jangan sampai Indonesia harus menunggu munculnya guncangan (disruption) untuk memulai perbaikan. Indonesia sendiri sudah beberapa kali dihadapkan pada guncangan, seperti krisis ekonomi pada 1997, 2008, dan terakhir pandemi 2020.

Pertanyaan berikutnya adalah, jika sebuah perusahaan memiliki keterhubungan yang luas, kemudian mengalami pailit, siapakah yang menanggung tanggungjawab sosial bagi masyarakat dan ekonomi daerah? Apakah pemerintah? Apakah perusahaan?

Setiap pihak memiliki perannya masing-masing, di mana perusahaan wajib membayar pesangon sesuai Undang-undang yang berlaku dan pemerintah dapat melakukan intervensi melalui suntikan modal atau menyediakan alternatif lapangan kerja untuk menyerap kembali karyawan yang kehilangan pekerjaannya.

Jika memungkinkan, para tenaga kerja ini diserap ke industri yang lebih ke arah hilir (downstream) atau ke industri yang produknya memberikan profit margin lebih besar dibandingkan industri sebelumnya. Hal ini akan berdampak pada kondisi perekonomian daerah yang lebih baik.

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Baca Juga

Ricky Virona Martono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *