Geliat Primadona Baru, Generasi Z
Beberapa tahun ke belakang, dunia kerja tampaknya semakin dinamis. Entitas yang beberapa dekade ini menguasai kancah menjadi idaman para pencari kerja, kini tampaknya mesti berbagi tempat dengan pemain baru.
Tidak dapat dipungkiri semakin muda tahunnya, semakin berenergi generasinya. Makin lincah pula setiap pergerakan yang dilakukannya. Jika Generasi Y (Gen Y) dianggap sebagai generasi yang nyeleneh dalam birokrasi dan lingkungan struktural maka adiknya, Generasi Z (Gen Z) dikatakan lebih nyeleneh lagi.
Jika Gen Y ingin selalu cepat dan memangkas birokrasi dan struktural yang punya jalan setapak panjang, Gen Z malah ingin lompat atau terbang saja agar langsung sampai ke tujuan. Bukan tanpa sebab, makin maju teknologi maka makin instan kebutuhan Gen Z terpenuhi. Pada akhirnya, sekoci lambat laun akan diabaikan oleh Gen Z yang hendak berlayar dengan kapalnya. Namun demikian, ini baru sebatas asumsi yang terefleksi dari banyaknya fenomena di sekitar yang terkadang menggelitik.
Beberapa tahun terakhir, muncul tren baru dalam dunia akademis dan praktis. Peneliti berlomba-lomba mencari tahu dan membahas fenomena Gen Y yang segera mendominasi dunia kerja. Berbagai kajian dan hipotesis coba dibuktikan. Berbagai bahan diskusi dimunculkan dengan harapan organisasi akan mengantisipasi gejolak yang akan ditimbulkan oleh generasi muda ini terhadap nilai-nilai organisasi yang mungkin sudah sejak generasi-generasi sebelumnya dijunjung tinggi.
Contoh saja etika ketika berada di lift, bagi Generasi Baby Boomers dan Generasi X, jangan sekali-sekali ikut naik ketika pejabat sudah lebih dulu berada di dalam lift. Namun, Gen Y tampaknya tak semua paham. Mereka akan menyapa dengan percaya diri, tersenyum, dan ikut masuk ke dalam ruang sempit berukuran tak lebih dari 2×2 meter tersebut. Itu saja sudah cukup membuat geleng-geleng kepala.
Gen Z yang lahir dan tumbuh bersama teknologi ini lambat laun seperti kakaknya, Gen Y, mereka juga akan mendominasi usia produktif. Mungkin mulai sepuluh hingga setidaknya tiga puluh tahun ke depan. Apa yang telah bersusah payah dibangun oleh Generasi Baby Boomers hingga Gen X tampaknya siap untuk digoncang oleh Gen Z. Nilai, budaya, serta keramah-tamahan yang diagungkan bukan tidak mungkin tak lagi dianggap esensial oleh generasi ini.
Preferensi dalam bekerja tampaknya ikut bergeser. Sektor pemerintahan, perusahaan pelat merah, hingga perusahaan multinasional yang selalu jadi primadona tampaknya punya pesaing seksi. Perusahaan rintisan yang “katanya” dinamis, serta mengutamakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi seolah menawarkan pengalaman yang berbeda. Ditambah ruang kerja instagramable dengan kafetaria berisi camilan dan ice cream gratis menjadi primadona baru bagi lulusan perguruan tinggi yang baru saja menetas dari cangkang bernama kampus.
Tak sampai di situ, sebagian justru lebih menarik lagi. Alih-alih menjadi pekerja kerah putih, kini berseliweran generasi muda yang ingin membangun kerajaannya sendiri. Tampaknya lebih menarik mendirikan perusahaan rintisan agar mendapat gelar CEO atau Director bermodalkan pengalaman kerja 0 tahun, dibanding mencantumkan okupasi bertitel Staf di media sosial profesional selama bertahun-tahun. Ya, apapun itu tentu sah-sah saja menjadi pilihan untuk siapa saja yang punya kebebasan dalam mengelola akun pribadinya.
Lalu bagaimana perusahaan dapat menarik perhatian talenta terbaik Gen Z ini? Menyediakan pekerjaan yang tampak sebagai pekerjaan ideal, dan membangun citra pekerjaan yang dinamis menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi perusahaan. Jika mengharapkan talenta terbaik Gen Z kerasan untuk berkontribusi dalam waktu lama, maka tuntutan bukan lagi terletak pada mereka melainkan pada perusahaan. Imbalan yang diharapkan tidak terbatas pada nominal, namun juga fleksibilitas yang akan mendorong Gen Z untuk konsisten dan bertahan dalam berkontribusi.
Survei yang dilakukan firma Ernst & Young (EY) secara implisit menunjukkan bahwa Gen Z sangat menyukai lingkungan kerja kolaboratif dengan keterbukaan peluang terhadap berbagai metode kerja dan alternatif pemecahan masalah. Terlebih di masa-masa pandemi seperti yang terjadi lebih dari setahun ke belakang, Gen Z tampaknya sudah cukup gelisah untuk kembali mengeksplor dunia luar.
Semua yang menjadi kecenderungan perilaku Gen Z saat ini tak lepas dari bagaimana mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan yang semakin luas. Keterbukaan pikiran serta fleksibilitas yang dianggap sebagai modal utama berlayar di dunia kerja tentu membawa generasi-generasi ini pada pilihan dan risiko yang sulit diprediksi. Namun, kemanapun generasi ini akan berlayar, tentu tujuan akhir tetaplah berlabuh tanpa tenggelam. Pada akhirnya, urusan perut menjadi yang utama.
Akhir kata, tidak ada salahnya Gen Z bereksplorasi, agar generasi setelahnya yang entah akan disebut generasi apa, dapat melanjutkan tradisi menawarkan pilihan-pilihan yang berbeda.Selamat datang, Generasi Z!
*Tulisan ini juga dimuat di SWA OnlineGeliat Primadona Baru, Generasi Z