Compassionate Leadership dalam Situasi Pandemi
Sore itu seperti biasa, penulis tengah menikmati “me time” menghirup aroma air menyentuh tanah, dengan menyiram halaman di depan rumah. Sejak work from home karena pandemi, sore hari setelah selesai virtual meeting dengan tim, menyiram tanaman menjadi kemewahan tersendiri. Aktivitas ini menjadi salah satu pelepas stres sejenak dari pikiran penat kapan pandemi akan berakhir.
Teringat hasil riset CHCD PPM Manajemen yang menunjukkan bahwa 80% responden mengalami gejala stres dalam musibah Covid-19. Survei dilakukan kepada kurang lebih 2500 responden karyawan dari seluruh Indonesia. Sebagian besar responden, yaitu 59% menyatakan penyebab terbesar stres adalah adanya kekhawatiran mereka akan kesehatan dan keselamatan anggota keluarga dari ganasnya Covid-19.
Selanjutnya, responden mengharapkan beberapa hal dari perusahaan, yaitu 48% responden mengharapkan adanya kebijakan work from home dari perusahaan, kemudian 43% responden menginginkan perusahaan menyediakan kebutuhan perlindungan dari penyebaran virus seperti masker dan hand sanitizer. Selain itu 38% responden menjawab bahwa mereka membutuhkan lingkungan yang aman dari penyebaran virus.
Dari hasil riset di atas, dapat kita lihat bahwa situasi pandemi saat ini bukanlah masa-masa mudah untuk dilalui setiap orang. Hampir semua orang mengalami stres baik mereka yang masih bekerja di kantor maupun mereka yang sudah menjalani work from home.
Lalu, gaya kepemimpinan apa yang dianggap tepat dalam situasi pandemi seperti ini? Compassionate leadership adalah salah satu gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam situasi serba tidak menentu seperti saat ini.
Thupten Jinpa, mendefinisikan compassion sebagai “sikap mental yang erat kaitannya dengan komitmen, rasa tanggung jawab dan saling menghargai”. Ia menyebutkan tiga komponen dalam compassionate, termasuk aspek kognitif (I understand you), affective (I feel for you) dan motivational (I want to help you).
Meskipun ada sebagian leaders yang enggan menerapkan budaya compassion dalam organisasinya karena adanya anggapan bahwa compassionate leadership cenderung menunjukkan kepemimpinan yang cengeng dan tidak tegas, namun saat ini sudah banyak leaders dan perusahaan yang “aware” bagaimana compassionate leadership memberikan manfaat yang signifikan terhadap peningkatan moral karyawan di dalam organisasi, bahkan lebih jauh memberi dampak pada naiknya kinerja keuangan perusahaan.
Sebuah survei yang dilakukan Rasmus Hougaard bersama koleganya pada 1000 leaders, 91% responden menyatakan bahwa compassion merupakan hal yang sangat penting dalam kepemimpinan, 80% responden berkomitmen akan meningkatkan compassion mereka meski mereka sendiri belum sepenuhnya paham bagaimana implementasinya.
Salah satu yang menyadari pentingnya compassion dalam organisasi adalah Karen Daveis, dari Service Elements yang menyatakan dalam tulisannya bahwa Compassionate Leadership merupakan gaya kepemimpinan yang tepat dalam masa pandemi Covid-19 saat ini. Sebagai praktisi yang sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun dalam bidang jasa industri aviasi, ia menyatakan bahwa situasi pandemi ini adalah situasi yang sangat challenging bagi semua industri.
Namun demikian, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk bicara mengenai profit dan revenue ataupun KPI. Ini saatnya memikirkan mengenai “orang”, yaitu tim kerja kita, pelanggan, pengunjung, staf penunjang, keluarga, komunitas.
Karyawan dalam organisasi akan concern dan mengingat bagaimana perlakuan perusahaan terhadap “orang” pada situasi sulit seperti ini. Leaders yang menerapkan compassionate leadership akan melahirkan loyalitas karyawan dan pelanggan yang long lasting.
Monica dan Dunton (2017) dalam bukunya, Awakening Compassion at Work: The Quiet Power That Elevates People and Organizations menyampaikan beberapa manfaat compassionate leadership termasuk:
- Compassion merupakan source of strategic advantage
- Compassion memberikan kontribusi positif kepada kekuatan financial perusahaan, profitability, serta customer retention pada masa downsizing
- Compassionate business unit menunjukkan kinerja keuangan yang lebih tinggi serta employee dan customer retention yang lebih tinggi
- Compassion mendorong human-based collective capabilities dengan mendorong terwujudnya kreatifitas serta budaya belajar yang akan menciptakan sustainable competitive advantage
- Compassion mendorong adanya budaya inovatif, peningkatan service quality, mendorong budaya kolaborasi, meningkatkan loyalitas karyawan, serta meningktakan employee dan customer engagement, dan mendorong kompetensi adaptability to change.
Compassion lebih daripada emotion, Compassionate leadership erat kaitannya dengan empat proses yang penting di dalamnya yaitu noticing, meaning, feeling dan acting. Compassionate leadership adalah memimpin dengan perilaku mengasihi dan memberikan makna serta tujuan hidup yang berarti bagi team members.
Berikut ini adalah empat proses dalam compassionate leadership yang dapat dijadikan acuan bagi Anda sebagai leaders:
- Noticing – mengidentifikasi adanya penderitaan (suffer)
Langkah awal dapat dilakukan dengan berusaha mengenali adanya suffer (penderitaan) di sekitar Anda. Berusahalah untuk menjadi lebih peka atas apa yang terjadi di sekeliling Anda.
Sebagai contoh apa yang terjadi pada Mona yang bekerja di suatu perusahaan jasa keuangan, pada akhir minggu lalu. Ia bercerita kepada saya bahwa suatu hari Rudy, managernya memanggil Mona untuk menanyakan progress report yang harus segera diselesaikan dalam akhir bulan ini.
Dalam berjalannya diskusi, Mona mendapat telepon dari kerabatnya yang memberikan kabar bahwa sepupu Mona yang terkena kanker otak telah meninggal 10 menit yang lalu. Spontan Mona menangis saat menerima telepon. Rudy masih duduk di kursi kerjanya saat itu, ia mendengarkan semua percakapan Mona dengan sepupunya di telepon.
Mona menyampaikan kepada Rudy bahwa ia sangat dekat dengan sepupunya yang baru saja meninggal, dan Mona meminta izin untuk pulang lebih cepat agar bisa segera menemui kerabat yang berduka dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir.
Namun, Rudy secara tegas menjawab “report ini sangat penting Mona, dan saya minta kamu menyelesaikan ini dulu. Karena sepupu bukan saudara kandung, kamu bisa mengunjungi keluargamu di weekend nanti.” Mona tidak dapat menahan tangisnya lebih lama lagi, ia bergegas meninggalkan Rudy tanpa kata-kata tidak memperdulikan Rudy.
Sebagian leader di dalam organisasi merasa terlalu sibuk dikejar deadline dan target bisnis, sehingga mereka merasa mendengarkan keluhan karyawan adalah membuang waktu. Dalam masa pandemi ini, sebagian leader merasa ini adalah saat yang tepat untuk memberikan atensi secara tulus, sebagian yang lain, merasa bahwa ini adalah saat yang tepat menekan karyawan agar mereka lebih lagi berkontribusi, no time for listening to their sad stories.
Pada contoh di atas, Rudy terlihat tidak peka dan tidak dapat mendeteksi suffering yang dirasakan oleh Mona. Hal ini mungkin saja terjadi di beberapa perusahan lain, di mana leaders menunjukkan bahwa ia terlalu sibuk dengan target yang harus dicapai, pemenuhan KPI, deadline yang sangat ketat, sehingga tidak memiliki waktu untuk menjadi lebih peka dan berujung bersikap seperti Rudy.
Ia tidak sensitif terhadap apa yang terjadi dengan sekelilingnya. Kemampuan noticing memang tidak selalu dapat dibentuk secara instan, namun seperti pendapat para ahli yang menyatakan bahwa kemampuan ini learnable, dapat dipelajari.
Penderitaan karyawan yang tidak dapat dideteksi dengan baik tidak akan pernah memunculkan compassion bagi sang leader. Itulah sebabnya Monica dan Dutton menyebutkan bahwa Noticing ini menjadi pintu pembuka munculnya compassion dalam pekerjaan, dalam diri seorang leader.
Meskipun terlihat simple, paying attention pada penderitaan orang lain bukanlah hal yang mudah. Max Bazerman berpendapat bahwa menjadi a great leader adalah leader yang memiliki kemampuan first-class noticing, ia mampu mendeteksi dengan cepat penderitaan lawan bicaranya.
- Making meaning of suffering – memaknai penderitaan orang lain dan adanya keinginan membantu meringankan beban orang lain.
Dalam bukunya,Monicadan Dutton juga mengungkapkan puisi:
There was a real norm in our department of modesty and always presenting a good face
Keep your skeletons at home
You’re not supposed to have a personal life
You’re supposed to take care of business
Kurang lebih maknanya, karyawan tidak berhak memiliki kehidupan pribadi, saat bekerja adalah 100% pemikiran dan fisik tidak boleh memikirkan hal lain termasuk memikirkan kehidupan pribadi, karyawan seolah-olah diminta untuk meninggalkan raganya di rumah, dan saat di kantor adalah full mendedikasikan fisik dan mental untuk bisnis.
Nina Sismoko, salah seorang eksekutif di Silicon Valley menyebutkan bahwa pada akhirnya ia menyadari bahwa karyawan datang ke kantor mencari sebuah makna dan tujuan. Mereka tidak akan terinspirasi dan termotivasi jika tujuan organisasi adalah semata-mata hanya mencari profit sebanyak-banyaknya untuk pemegang saham, money, money and money.
Nina mendapati bahwa tujuan dan makna yang diinginkan oleh karyawan bukanlah sesempurna memberantas kemiskinan di suatu negara, namun lebih kepada human-centerred dan meringankan penderitaan karyawan. Riset yang dilakukan Nina juga menunjukkan bahwa pengalaman yang terkait dengan compassion, termasuk memberi perhatian, menerima perlakuan baik dan sikap menghargai dari orang lain, serta menyaksikan praktik organisasi berdasarkan compassion memberi dampak signifikan terhadap keinginan karyawan untuk stay di dalam organisasi.
- Feeling emphatic – concern terhadap orang-orang yang mengalami “suffer” di dalam organiasi
Empati sering dianggap sulit diterapkan dalam organisasi. Keinginan atasan untuk memberi atensi lebih pada team member sering terhambat dengan tingginya pressure dan ketakutan tidak tercapainya target bisnis.
Sebagai seorang leader, dalam situasi sulit saat ini, Anda dituntut dapat menjaga moral karyawan untuk tetap positif, terutama dalam masa pandemi seperti sekarang, selain itu Anda diminta untuk menjadi leader yang supportive dan penuh pengertian terhadap kondisi tim kerja Anda.
Ini saatnya yang tepat untuk memahami lebih dalam mengenai tim kerja Anda, saat yang tepat untuk menunjukkan kepedulian Anda dan perusahaan terhadap mereka. Karena situasi pandemi saat ini serba tidak menentu dan tentunya telah memunculkan kecemasan bagi setiap orang.
Meskipun kebijakan perusahaan mungkin telah memberikan kelonggaran dengan menerapkan work from home, namun kadang atasan ataupun perusahaan lupa sebagian karyawan yang menjalankan work from home mungkin juga merasa kesepian, atau bahkan merasa tidak dapat bekerja dengan optimal karena adanya situasi rumah yang tidak mendukung, karena banyak anak-anak, atau mungkin juga sebagian dari mereka tidak punya spot khusus untuk bekerja dengan nyaman di rumah.
Sebagian lain merasa terlalu lelah karena dalam durasi lama harus melakukan zoom meeting nonstop secara marathon untuk mengejar bisnis dalam situasi sulit. Untuk karyawan wanita, dengan kebijakan work from home, karena mereka hadir secara fisik di rumah, mungkin keluhannya adalah mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah yang cukup menyita waktu disamping harus menyelesaikan target pekerjaan. Kebutuhan leader yang penuh compassion menjadi sangat urgent saat ini.
Alain Hunkins menyatakan bahwa, ini saatnya menjadi exceedingly human, memberikan penekanan ekstra untuk memanusiakan manusia. Fokus pada orang lalu tugas menjadi yang nomor berikutnya. Seperti apa yang dijelaskan oleh Pak Achmad Fahrozi dalam tulisannya berjudul Tantangan Memimpin Tim Virtual (https://swa.co.id/swa/my-article/tantangan-memimpin-tim-virtual) bahwa “trust” menjadi ingredient yang sangat penting, percayalah setiap orang akan berbuat yang terbaik untuk perusahaan.
Sebagai makhluk sosial, mungkin sebagian orang dalam tim Anda yang menjalani work from home saat ini, terisolasi dari rekan-rekan kantor secara fisik, merasa tidak terlalu termotivasi, apalagi virus belum menunjukkan grafik yang menurun saat ini.
Maka lakukan komunikasi dengan tim Anda secara rutin, tunjukkan kepada mereka bahwa Anda bersama mereka, bahwa Anda peduli kepada kesulitan yang mereka hadapi. Namun ingat, komunikasi ini sifatnya bukan hanya menagih pekerjaan mereka, namun mencoba memposisikan diri pada posisi mereka serta menawarkan bantuan saat diperlukan.
4. Taking action – mengambil langkah konkrit meringkankan beban karyawan yang mengalami “suffering”
Jika kita sering mendengar kata empati, yaitu kemampuan memahami perasaan orang lain, maka compassion bukan hanya memahami orang lain, namun melakukan suatu tindakan yang didasari dengan respect kepada tim. Esensinya adalah mengambil sebuah tindakan, memahami mereka dengan penuh empati, yang akan membuat compassionate leaders berhasil. Mengubah mindset dari “your problem” menjadi “let’s resolve this together”.
Contoh nyata pernah penulis alami, saat baru saja bergabung selama 3 hari dengan PPM Manajemen, mendapat musibah, Ibunda mengalami kecelakaan. Panik, dan nobody to talked to selain kolega senior yang berada di ruangan.
Penulis katakan kepadanya harus menuju ke RS menemui Ibunda dan Kepala Departemen saat itu tidak dapat dihubungi. Seketika itu juga kolega penulis menyatakan bahwa “I will talk to your Dept Head later, now you go to your Mom, she needs you more, you just go help her. Hope everything is fine with her”. Penulis kagum dengan leadership beliau sebagai senior, meski bukan atasan langsung, ia telah menunjukkan empati serta dengan melakukan suatu tindakan (action) untuk menolong. Ini adalah salah satu contoh nyata sikap seorang compassionate leader dalam pandangan penulis.
Untuk menjadi compassionate leaders, seseorang harus dapat menjalankan empat proses dalam kepemimpinannya, yaitu noticing (mengidentifikasi) suffering team member, memaknai “penderitaan” yang dialamianggota tim, menunjukkan empathykepada team member, lalu lakukan sesuatu (action)untuk dapat mengurangi penderitaan team member.
Selamat mencoba menjadi compassionate leaders!