Bingung Memimpin Gen-Z? Gunakan COMPASS!
Gempita perilaku Gen-Z di tempat kerja masih menjadi topik hangat hingga kini. Banyak kreator konten membahas betapa “uniknya” bekerja dengan Gen-Z, yang tentu saja sangat berbeda dari generasi lainnya. Mulai dari cara mengerjakan tugas, cara berinteraksi dengan senior di kantor, hingga cara menyikapi jam kerja.
Tentu saja, banyak Gen-Z yang tidak setuju dan menyangkal persepsi ini. Mereka merasa label seperti “malas”, sulit diarahkan, tidak sopan, dan kata-kata negatif lainnya adalah stereotipe yang tidak adil.
Perbedaan pandangan dan persepsi ini sebenarnya layak kita teliti lebih lanjut. Seperti dalam banyak hubungan antar manusia, masalah sering timbul akibat miskomunikasi, kesalahpahaman, atau terlalu banyak mempercayai mitos dan asumsi. Melalui artikel ini, mari kita ungkap mitos dan asumsi tersebut agar para pemimpin boomers dan millennials dapat memahami perspektif Gen-Z, dan sebaliknya Gen-Z dapat mengerti pandangan para boomers dan millennials.
Hidup di Zaman Serba Mudah
Meskipun pendapat mengenai rentang tahun kelahiran Gen-Z bervariasi, penulis menggunakan data dari The Harvard Gazette yang menyebutkan bahwa Gen-Z terdiri dari mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Pada tahun-tahun ini, perkembangan bisnis dan teknologi berlangsung dengan sangat cepat. Orang tua dari Gen-Z harus bekerja lebih keras untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Selain itu, semakin banyaknya ilmu parenting dan penyebarluasan informasi turut menjadi latar belakang perbedaan cara mendidik orang tua 50 tahun lalu dengan 20 tahun lalu. Perbedaan ini mencakup cara berkomunikasi, cara memberi nasihat, cara marah, serta cara memenuhi keinginan anak. Kemudahan-kemudahan yang dialami oleh Gen-Z inilah yang menjadi dasar perbedaan sikap dan kepribadian mereka, yang kini dirasakan oleh para pemimpin boomers dan millennials.
“Mitos” Gen-Z di Tempat Kerja
Di balik perbedaan generasi, muncul berbagai mitos tentang Gen-Z di tempat kerja. Mitos-mitos ini seringkali mengaburkan pandangan para pemimpin tentang kinerja dan etos kerja Gen-Z. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengkaji lebih dalam dan meluruskan berbagai asumsi yang keliru. Mari kita telaah beberapa mitos utama tentang Gen-Z di dunia kerja dan menyelami kebenarannya.
1. “Malas. Datang kantor suka telat, pulang maunya tepat waktu atau tenggo.”
Banyak pemimpin generasi boomers dan millennials mengeluhkan hal ini. Namun, ketika ditanya, “Apakah sudah dikomunikasikan ke yang bersangkutan tentang konsekuensi dari perilaku suka telat-nya tersebut?” Tidak ada yang menjawab, “Sudah.”
Ini mungkin menjadi alasan mengapa Gen-Z tidak menganggap penting jam kedatangan mereka sesuai aturan perusahaan. Berdasarkan observasi dan wawancara, hampir semua Gen-Z mengatakan bahwa mereka tidak suka atasan yang terlalu memonitor, terlalu ribet dan mengatur, atau micro-managing. Mereka lebih senang memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas sendiri terhadap pekerjaannya, termasuk dalam mengatur jam kerja mereka. Jika terus-menerus diarahkan atau dinasehati, Gen-Z akan merasa bahwa proyek atau pekerjaan tersebut bukan tanggung jawab mereka, yang akhirnya membuat pemimpin kelelahan karena harus terus memberikan instruksi.
Pastikan bahwa jika memang terdapat peraturan perusahaan yang mengatur jam kerja, sampaikan peraturan tersebut kepada anggota tim Gen-Z Anda dan juga konsekuensinya jika melanggar.
2. “Nanya terus. Dikit-dikit nanya, emang nggak bisa cari tahu sendiri?”
Seperti mitos sebelumnya, ketika Gen-Z sudah merasa memiliki akuntabilitas tinggi terhadap pekerjaannya, mereka cenderung ingin agar pekerjaannya sempurna dan dilakukan semaksimal mungkin. Mereka juga hidup di zaman di mana orangtua lebih terbuka untuk mendengarkan opini anak-anaknya, sehingga mereka lebih terbiasa menyuarakan pendapat dan tidak merasa malu untuk bertanya. Terutama jika apa yang mereka tanyakan tidak ada panduan tertulisnya. Hal ini mungkin akan memberatkan para pemimpin yang belum terbiasa dengan anggota tim yang banyak bertanya dan meminta konfirmasi. Namun, dengan para Gen-Z, Anda justru harus merasa senang ketika mereka melakukan hal ini. Ini menandakan mereka sudah memiliki akuntabilitas tinggi dan ingin pekerjaan mereka berjalan dengan maksimal.
3. “Sensitif banget. Dikerasin sedikit bisa ngambek berhari-hari.”
Untuk memahami sikap ini, kita perlu melihat kembali bagaimana ilmu parenting berkembang saat ini. Cara orang tua para Gen-Z menghukum anaknya sudah tidak sama dengan cara millennials atau boomers dimarahi oleh orangtuanya. Para Gen-Z terbiasa diberikan apresiasi dan afirmasi positif, dan sebaliknya mereka tidak terbiasa dipermalukan atau dipandang negatif.
Kasus yang pernah terjadi di sebuah perusahaan adalah sebagai berikut, seorang Gen-Z melaporkan kepada tim whistleblower bahwa ia mengalami kekerasan dari atasannya. Tim whistleblower pun melakukan wawancara kepada kedua belah pihak, atasan dan juga anak buahnya yang merasa mendapatkan kekerasan. Setelah dilakukan wawancara, tim whistleblower ini mengetahui bahwa titik duduk permasalahannya dimulai ketika atasan ini memarahi anak buahnya dengan nada yang tinggi dan juga di ruangan terbuka. Anggota tim Gen-Z tersebut merasa bahwa dimarahi di depan banyak orang adalah bentuk kekerasan di tempat kerja, sementara atasannya menganggap itu adalah hal biasa yang sudah dihadapi di pekerjaan bertahun-tahun. Miskonsepsi dan mispersepsi antara keduanya ini yang pada akhirnya menyebabkan konflik di pekerjaan.
Bagaimana Menyikapinya?
Tidak ada pihak yang sepenuhnya salah dalam konflik yang terjadi antara Gen-Z dan pemimpin non-Gen-Z di tempat kerja. Konflik sering terjadi karena kurangnya pengetahuan serta pemahaman mengenai persepsi dan nilai yang dimiliki oleh masing-masing generasi.
Apakah perbedaan persepsi dan nilai ini masih memungkinkan Gen-Z dan generasi lainnya untuk bekerja bersama? Tentu saja.
Gunakan COMPASS sebagai panduan Anda dalam memimpin tim Gen-Z.
1. Set Clear Expectations (C)
Dengan Gen-Z, menetapkan ekspektasi yang jelas dan rinci sejak awal akan sangat membantu kelancaran pekerjaan di masa depan. Saat ini banyak perusahaan melewatkan kegiatan Onboarding yang seharusnya menjadi momen bagi karyawan baru untuk mengenal dan memahami perusahaan lebih dalam, termasuk di dalamnya sesi one-on-one dengan atasan.
Baca Juga
- Situational Judgement Test: Penilaian SDM yang Lebih Akurat
- Saatnya Menciptakan Talenta Terbaik dengan WELCOME!
Namun, jika hal ini tidak memungkinkan di perusahaan Anda untuk dapat menggantikan kegiatan tersebut. Sampaikan peraturan, sistem, dan alur bekerja yang berlaku di perusahaan dan tim Anda. Bisa juga menyampaikan apa yang Anda harapkan ia lakukan di pekerjaan ini. Sebaliknya, tanyakan ekspektasi dari mereka bekerja di perusahaan dan di dalam tim Anda. Lalu mulai mengecek apakah terdapat keberatan terhadap poin-poin tersebut. Diskusikan dan usahakan semua hal sudah clear di sesi ini.
2. Two-Way Communication (OM)
Anda tidak perlu memonitor pekerjaan anggota tim secara intensif, cukup pastikan bahwa komunikasi antar sesama sudah cukup dan ada komunikasi dua arah. Sebagai atasan, perlu percaya diri dalam membiarkan anggota tim bekerja secara mandiri. Namun, Anda juga harus siap memberikan bantuan ketika diminta ataupun ketika tidak diminta.
Di beberapa situasi, anggota tim mungkin akan sungkan untuk meminta bantuan. Mereka akan sangat mengapresiasi jika Anda menunjukkan sikap peduli dengan bertanya, “Apakah semua baik-baik saja? Adakah yang bisa saya bantu?”
Oleh karena itu, persiapkan rencana untuk mengatasi hambatan atau tantangan yang mungkin akan muncul di pekerjaan. Jika mereka berbuat kesalahan, berikan umpan balik yang membangun. Akan lebih baik jika dilakukan secara tertutup dan tidak di depan orang banyak.
3. The Power of Appreciation (PA)
Menurut penelitian dari Gallup (2021), salah satu aspek yang dicari Gen-Z dalam pekerjaan adalah Diversity, Equality, dan Inclusion (DEI), terutama dari aspek Equality di mana mereka ingin menjadi seseorang yang dihargai orang lain (being respected). Gen-Z suka diberikan apresiasi atas kontribusinya dan merasa dihargai.
Dalam beberapa waktu tertentu, berikan apresiasi kepada mereka. Komunikasikan juga apa yang membuat Anda mengapresiasi pekerjaannya di situasi tersebut. Anda juga dapat memperluas jangkauan tanggung jawab mereka di beberapa situasi atau job stretch, contohnya seperti memberikan proyek yang lebih besar, meminta mereka memimpin rapat, dan lainnya. Memberikan mereka peluang untuk bertumbuh dan berkembang juga dapat menjadi salah satu cara membuat mereka merasa diapresiasi dan dihargai.
Love Languagejuga dapat menjadi cara Anda memberikan apresiasi yang sesuai kepada anggota tim. Observasi atau minta anggota tim untuk mengisi kuesioner Love Language. Kemudian, sesuaikan cara mengapresiasi dengan masing-masing anggota. Cara yang dipersonalisasi seperti ini dapat semakin meningkatkan rasa percaya dan engagement antar anggota di dalam tim.
4. Safe Space
Kepedulian Gen-Z akan DEI juga membuat mereka menginginkan adanya inklusivitas di dunia kerja, yang berarti mereka menginginkan lingkungan kerja yang mengakomodasi berbagai latar belakang, identitas, dan pengalaman secara adil dan merata. Gen-Z menilai energi positif di lingkungan tempat mereka bekerja itu penting, di mana pendapat atau opini mereka didengar, serta adanya kesetaraan di antara seluruh karyawan. Lingkungan dengan distorsi komunikasi dan kolaborasi akan membuat mereka merasa berada di lingkungan negatif, yang dapat menurunkan motivasi mereka dalam bekerja.
Mengutip dari Survei Menyambut Kehadiran GEN-Z di Dunia Kerja yang dilakukan oleh CHCD PPM Manajemen pada tahun 2022, 73,68% Gen Z memiliki persepsi bahwa mereka mengharapkan terjalinnya hubungan tanpa jarak dengan generasi yang lebih tua. Lingkungan kerja juga menjadi salah satu aspek terbesar yang mempengaruhi faktor motivasi kerja seorang Gen Z.
Dalam hal ini, tidak hanya pemimpin yang berperan, namun juga berbagai pihak seperti rekan kerja dan juga para top leaders. Tunjukkan kepedulian kepada mereka, lebih dari hanya sekadar karyawan.
Menjadi seorang pemimpin memang bukan hal yang mudah. Anggota tim bukanlah robot yang bisa Anda berikan instruksi secara seragam. Maka tidak bisa hanya sebatas copy-paste instruksi dan pekerjaan kepada seluruh anggota tim.
Ketahui bahwa generalisir negatif para Gen-Z ini memiliki latar belakang, dan bukan berarti hal itu buruk. Pemahaman dan praktik situational leadership dapat menjadi solusi agar tujuan dari tim dapat tetap tercapai meskipun terdiri dari berbagai generasi, termasuk Gen-Z.
Situational Leadership adalah model kepemimpinan yang menekankan fleksibilitas pemimpin dalam menyesuaikan gaya kepemimpinan berdasarkan kesiapan dan kompetensi anggota tim untuk menghadapi tugas tertentu. Ini sangat penting bagi pemimpin yang memiliki tim multigenerasi, karena setiap generasi mungkin memiliki tingkat pengalaman, keterampilan, dan preferensi yang berbeda dalam bekerja.
Semoga dengan artikel ini, Anda bisa memahami bahwa permasalahannya bukan di generasi, personality, ataupun perbedaan. Diversity is important. The main issue and the key to solve the issue, is in the communication.
Happy communicating, leaders!
*Tulisan ini dimuat di SWA Online