Belajar Leadership dari Ilmu Parenting
“The two most important things in any company do not appear in its balance sheet: its reputation and its people.”
Sebagai orang tua, tentu kita mengharapkan yang terbaik bagi anak. Kita ingin anak bisa menjadi pribadi yang baik, cerdas, sopan dan santun, taat pada otoritas, serta segudang ekspektasi lainnya. Meskipun kita memiliki maksud yang baik untuk mendidik anak menjadi pribadi yang baik, tak bisa dipungkiri pada kenyataannya banyak orang tua yang memilih pendekatan yang “salah”.
Biasanya dalam dunia parenting, salah satu pendekatan yang salah ini disebut Fear-Based Parenting. Orang tua menampilkan sosok yang sangat tegas dan penuh dengan hukuman, ancaman, bahkan otoriter. Kata-kata saktinya kurang lebih “Pokoknya kamu harus” atau “Kalau tidak, kamu akan”. Memang betul, anak akan cepat menurut ketika diberi ancaman atau hukuman. Namun alih-alih menghasilkan anak yang berjiwa luhur dan bermanfaat bagi orang lain, pendekatan yang kurang tepat tadi dapat membentuk ketakutan pada anak, sehingga anak cenderung takut, dan menjadi pribadi yang taat karena ada hukuman yang siap menanti jika tidak taat.
Jadi bagaimana kita bisa membentuk pribadi anak yang memiliki integritas, berjiwa luhur, taat dan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi lingkungannya?
Masih dalam dunia parenting, ada sebuah pendekatan yang dinamakan Positive Discipline yang dipopulerkan oleh Jane Nelsen lewat bukunya yang berjudul “Positive Discipline”. Berbeda dengan pendekatan yang serba otoriter, maupun ekstrem lainnya yaitu serba bebas. Disiplin Positif memiliki prinsip bahwa anak-anak memiliki Kebebasan dengan aturan di mana anak boleh memilih namun dengan batasan yang menghormati orang lain. Dituliskan bahwa di dalam disiplin positif “Kita akan bersama-sama memutuskan peraturan untuk kepentingan bersama. Bila saya terpaksa mengambil tindakan, maka saya akan mengambil tindakan tegas disertai kewibawaan dan rasa hormat.”
Tegas namun lembut. Itulah yang menjadi mantra para orang tua yang ingin menerapkan disiplin positif dalam keseharian mereka. Tentu saja, lebih mudah untuk langsung berteriak, mengancam anak agar segera menurut. Namun dalam jangka panjang, hal ini akan merusak otak anak karena ancaman dan teriakan memicu rasa takut yang kemudian merangsang otak reptil anak.
Anak tidak diberi kesempatan untuk melakukan “reasoning” atas peraturan yang ada, atau dibiarkan mengalami konsekuensi dari perilakunya sehingga kemampuan membuat keputusan secara rasionalnya tidak berkembang, dan cenderung tumbuh menjadi pribadi yang taat hanya karena takut kepada ancaman/hukuman, bukan taat karena tahu apa yang ia lakukan adalah hal yang benar.
Jika kita analogikan hubungan antara orang tua dan anak dengan pemimpin perusahaan dan para karyawannya, maka konsep disiplin positif ini sangat cocok untuk diterapkan di dalam organisasi yang memiliki aspirasi untuk menghasilkan karya serta pribadi yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, maupun bangsa dan negara.
Sebuah organisasi yang pembelajar dan memiliki nilai-nilai luhur tentunya menginginkan agar para karyawannya memiliki disiplin diri dan integritas serta mampu membuat keputusan yang benar. Tentunya, bukan karena ketakutan pada ancaman atau konsekuensi, melainkan karena kuatnya nilai-nilai luhur yang dipegang oleh setiap individu organisasi, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi kompas dari setiap tindakan perilaku karyawan.
Sang orangtua, atau pemimpin puncak organisasi baik Direksi, C-Level, Komisaris, Yayasan, maupun jabatan lainnya yang sejenis, dapat mempelajari prinsip-prinsip Disiplin Positif bagi organisasi.
Pendekatan yang tegas namun lembut sangatlah penting untuk membangun kepemimpinan yang transformatif, budaya yang efektif, dan berdampak pada kinerja organisasi. Pemimpin perlu menciptakan rasa aman secara psikologis (Psychological Safety) bagi para karyawannya. Karena karyawan yang merasa aman, akan lebih percaya diri bahwa dirinya adalah bagian yang berharga bagi organisasi (inclusion safety), berani belajar lewat mengajukan pertanyaan (learner safety), merasa aman untuk berpendapat tanpa takut ditertawakan/dihina (contributor safety), dan merasa aman untuk berbeda pendapat baik pada kolega maupun otoritas (challenger safety).
Pemimpin yang gagal untuk menciptakan rasa aman secara psikologis akan mendapati bahwa organisasinya kekurangan rasa percaya satu sama lain dan efektivitas tim, moril, serta kolaborasi akan menurun.
Jika pemimpin menerapkan gaya otoriter yang penuh ancaman, transaksional, serta tidak memberi ruang komunikasi dua arah (gaya parenting “Orang tua selalu benar”), maka tidak heran jika karyawan yang merasa ketakutan akan terpicu otak reptilnya (amygdala) sehingga mereka akan masuk ke dalam kondisi pilihan antara fight atau flight.
Fight dapat termanifestasi menjadi keluhan, kecaman, demonstrasi, dan lain-lain. Sedangkan flight dapat termanifestasi menjadi perilaku Quite Quitting (mengurangi engangement dan loyalitas kepada organisasi), mulai mencari-cari lowongan di LinkedIn, mulai mengubah status jadi Open To Work, lalu akhirnya Resign.
Tentunya kedua hal ini akan menimbulkan kerugian besar bagi organisasi. Padahal Sumber Daya Manusia merupakan modal yang sangat berharga bagi organisasi, seperti yang dituliskan oleh Henry Ford di dalam kutipan “The two most important things in any company do not appear in its balance sheet: its reputation and its people.”
Jadi, bagaimana cara kita dapat menerapkan Disiplin Positif bagi organisasi? Berikut adalah beberapa prinsip dari Disiplin Positif yang dapat diadopsi oleh para pemimpin organisasi.
1. Start With Why
Meminjam prinsip dari judul buku Simon Sinek, pemimpin sebaiknya memilih metode inspirasi (bukan manipulasi) dalam membentuk nilai-nilai dan perilaku para anggota organisasi.
Perbanyak kegiatan tatap muka yang dapat menjadi momen bersama seluruh anggota organisasi dan ceritakanlah mengapa organisasi ini dulu didirikan. Visi misi organisasi jangan hanya menjadi slogan yang dilupakan, tapi perlu merasuk ke dalam setiap individu.
Visi misi yang jelas dan inspiratif dapat memudahkan organisasi untuk menjadi lebih efektif dan agile. Nilai-nilai organisasi yang jelas dan program-program culture/engagementyang baik akan membantu anggota organisasi untuk lebih memahami dan menghidupi apa yang diinginkan oleh organisasi.
Peraturan perusahaan merupakan hal yang penting, namun hukuman bukanlah hal yang berguna untuk menghentikan perilaku yang salah dalam jangka panjang. Sebagai contoh, ancaman dan teriakan efektif untuk menghindarkan anak Anda dari bahaya menyentuh panci panas di atas kompor. Namun ancaman dan teriakan tidak efektif dalam jangka panjang untuk membentuk perilaku anak supaya tidak berbohong, justru akan terjadi efek yang sebaliknya. Hal serupa juga berlaku dalam organisasi.
2. Role-modeling
Tentunya hal ini sudah tidak asing lagi, di mana pemimpin puncak perlu melangkah lebih dulu menjadi teladan dalam hal melakukan perilaku yang sesuai dengan nilai yang digaungkan. Jika pemimpin tidak dapat melakukan hal ini, maka akan sia-sialah usaha perumusan visi misi nilai-nilai bahkan biaya yang dikeluarkan untuk program-program culture/engagement.
3. Tegas namun Lembut
Orang tua yang tegas namun lembut tidak buru-buru memvonis, mengusir (time-out) atau menghukum anak jika ada perbedaan pendapat atau ada perilaku yang tidak sesuai. Jane Elsen menulis di dalam bukunya “Adakanlah pertemuan keluarga untuk menyelesaikan masalah secara bekerja sama dan saling menghargai.” Menurutnya, hal ini kunci untuk mengembangkan suatu lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang sambil membantu anak mengembangkan disiplin diri, tanggung jawab, kerja sama dan kemampuan menyelesaikan masalah.
Memang organisasi bukanlah keluarga, namun lingkungan kerja yang saling menghargai dapat menjadi salah satu penentu kepuasan karyawan, keterlibatan karyawan dan loyalitas karyawan terhadap organisasi. Untuk itu diperlukan forum komunikasi dan keterbukaan kedua belah pihak dalam membahas sebuah masalah dan pentingnya urun rembuk duduk bersama untuk mencapai kesepakatan agar tercipta kesamaan visi dan nilai-nilai yang akan menjadi panduan bersama dalam bekerja sama mencapai misi organisasi.
Tidak seperti anak (yang tidak pernah bisa menjadi mantan anak dari sepasang orang tua), anggota organisasi punya banyak pilihan untuk tetap menjadi anggota organisasi, atau mencari wadah lain di mana ia merasa lebih dihargai dan dapat berkarya lebih maksimal.
Kepemimpinan di dalam organisasi akan sangat berpengaruh terhadap hal ini, apakah karyawan betah, merasa aman, dan bisa maksimal berkarya atau sebaliknya.
*Tulisan ini dimuat di SWA Online