Bahasa Cinta dalam Hubungan Kerja
Dunia kerja menunjukkan perubahan yang sangat signifikan semenjak pandemi hadir. Terlihat jelas pada saat diterapkannya work from home (WFH) kemudian kombinasi antara WFH dan work from office (WFO), bahkan sekarang berkembang menjadi work from anywhere (WFA). Lalu muncul pertanyaan, bagaimana cara menjaga produktivitas kerja karyawan dengan pola kerja yang demikian?
Perusahaan mungkin melakukan banyak hal dalam menerapkan monitoring system untuk memantau produktivitas karyawannya. Mungkin perusahaan hanya membutuhkan hasil kerja karyawannya saja, namun bagaimana tentang karyawannya “berproses” untuk menghasilkan kinerja terbaiknya tersebut terpantau juga oleh perusahaan? Karena bisa saja, kinerja tercapai namun dalam prosesnya karyawan menghadapi “perjuangan”nya sendiri
Lalu apa yang bisa dilakukan perusahaan untuk mengatasi ketidakpastian, ketidaknyamanan, dan keraguan karyawan dari berbagai kondisi baik dari luar maupun dari dalam perusahaan yang juga dalam “survival mode on” pada kondisi saat ini?
Jika berharap perusahaan memberikan benefit atau reward terbaik dalam kondisi saat ini, rasanya butuh waktu lama untuk menyesuaikannya, bahkan mungkin karyawan tidak pernah tahu kondisi perusahaan yang sebenarnya. Namun, dunia kerja itu layaknya rumah kedua bagi karyawan, pun ada hubungan kerja, baik antara atasan dan bawahan atau antar rekan kerja, seperti love and hate relationships. Bak pernikahan, dalam suka dan duka selalu bersama menjalani hari ke depan sampai bertahun-tahun nanti, yang mewajibkan tetap menjaga hubungan kerja bahkan kerja keras agar tetap hidup saling memahami dan berkembang bersama.
Mengutip teori klasik sebuah buku karya Gary Chapman (1992) tentang The Five Love Languanges dalam membina hubungan pernikahan yang dewasa ini sering dikorelasikan dalam hubungan kerja. Love language dalam dunia kerja dirasa sangat diperlukan sebagai bentuk komunikasi baik itu dengan atasan ataupun bersama rekan kerja. Karena setelah melewati masa pandemi, karyawan mungkin lebih terbiasa untuk menyampaikan kebutuhannya dalam texting, email, dan virtual meeting yang kian intens namun sekadar mampu menyiratkan kebutuhan yang tidak bisa disuratkan secara langsung. Jika perusahaan mampu menerapkan pendekatan ini di tempat kerja, diharapkan mampu menciptakan budaya kepedulian, empati, dan menumbuhkan perspektif yang visioner.
Melalui teori Chapman tersebut, berikut beberapa penerapan “love language” yang mungkin dapat diterapkan dalam lingkungan kerja.
Words of Affirmation. Dalam proses bekerja, pasti ada feedback atau mentorship yang diberikan dari atasan ke bawahan atau antar peers, yang mana diperlukan memilih kata-kata yang positif meskipun tidak dalam pencapaian tertentu. Misal di dalam forum meeting atau diskusi kecil, gunakan beberapa pilihan kata yang positif dan bijak sebagai afirmasinya. Kata-kata positif dan bijak ini mampu menyeimbangi kontak fisik yang mungkin lebih mudah untuk diobservasi.
Quality Time. Organisasi yang menekankan kolaborasi menyadari betapa waktu tatap muka menunjukkan penghargaan dan keanggotaan di tempat kerja. Tidak ada salahnya menghabiskan waktu bersama mereka di tempat kerja atau (secara profesional) di luar pekerjaan. Ini bisa berarti berkolaborasi dalam sebuah proyek, atau bahkan tim olahraga perusahaan, bahkan dengan mengajak tim keluar untuk makan atau sekadar mampir ke ruang kerjanya untuk melihat bagaimana keadaannya. Intinya, adalah waktu berkualitas itu harus bersifat pribadi.
Receiving Gifts. Dalam dunia kerja sering kali “gifts” diterapkan dalam bentuk benefit berupa bonus, insentif, dan lain-lain. Padahal, ada hal sederhana yang bisa kita berikan namun mempunyai “value”. Hadiah di tempat kerja bisa berupa informasi, seperti memberikan manajer atau rekan kerja Anda artikel yang relevan untuk kinerja. Hadiah juga bisa berupa peluang baru dengan memberikan ruang terbuka bersama manajemen untuk kontribusi. Tujuannya adalah untuk memberikan sesuatu yang menunjukkan bahwa atasan mempertimbangkan dan tertarik untuk melanjutkan hubungan kerja yang berkembang.
Acts of Service. Beberapa karyawan merasa lebih dihargai dan diakui jika atasan dengan sukarela melayani dengan membantu anggota tim. Beberapa tindakan berbasis layanan bisa sangat membantu, seperti membantu tugas yang urgent, memecahkan masalah teknis, bahkan berbagai makanan, yang pada dasarnya bantuan kecil apa pun untuk membuat hari mereka lebih menyenangkan.
Physical Touch. Sentuhan fisik mungkin cara ini perlu kehati-hatian dalam penerapannya dalam dunia kerja. Kontak fisik ini dapat difokuskan dengan “encouragement touchpoint”, yaitu memberikan dorongan-dorongan pada kontak fisik tertentu. Misal, “high five” untuk selebrasi keberhasilan, kontak mata dan senyuman dalam proses diskusi mendalam, kata-kata apresiasi dan afirmasi terhadap pencapaian tim, baik dalam kerja maupun sisi pribadinya.
Selamat berefleksi dan membangun tim yang solid!
*Tulisan ini dimuat di BUMN Track Online