Yang Sering Dilupakan oleh Perusahaan, Asessment Center

Yang Sering Dilupakan oleh Perusahaan, Asessment Center

Banyak praktisi SDM menganggap Assessment Center (AC) sebagai investasi yang mahal karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, baik dari segi finansial maupun waktu. Prosesnya yang melibatkan berbagai simulasi, alat ukur, dan asesor profesional memang membutuhkan sumber daya yang besar.

Selain itu, hasil dari AC tidak selalu langsung terlihat dalam jangka pendek, sehingga manajemen sering kali merasa skeptis terhadap nilai yang dihasilkan. Padahal, jika dilakukan dengan tepat, AC dapat membantu perusahaan memastikan keputusan terkait pengelolaan SDM lebih akurat dan berbasis data yang objektif.

Salah satu manfaat terbesar dari AC adalah kemampuannya dalam mengukur soft competency, yang sering kali diabaikan dalam proses seleksi dan pengembangan karyawan. Padahal, banyak tantangan dalam organisasi justru muncul akibat kurangnya soft competency di antara pegawai, bukan sekadar karena keterampilan teknis yang kurang.

Tanpa pemahaman yang baik tentang soft competency, perusahaan berisiko mengalami rekrutmen yang salah, kegagalan kepemimpinan, atau kinerja yang tidak optimal. Oleh karena itu, memahami pentingnya soft competency menjadi langkah awal untuk memahami manfaat dan nilai sebenarnya dari metode Assessment Center.

Kita tahu bahwa soft competency, seperti kemampuan komunikasi, pemecahan masalah, kepemimpinan, dan kerjasama tim, sering kali dianggap kurang penting dibandingkan keterampilan teknis (hard skills). Padahal, tanpa soft competency yang memadai, individu akan kesulitan bekerja dalam tim, termasuk menghadapi tantangan, atau mengambil keputusan dengan tepat.

Salah satu contoh nyata adalah kasus engineer Boeing yang memiliki keterampilan teknis yang sangat baik, ia salah satu ahli dalam bidangnya tapi kurang memiliki kemampuan komunikasi dan kolaborasi yang baik. Dalam pengembangan Boeing 737 MAX, tim engineer menemukan potensi masalah pada sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), yang berfungsi untuk membantu pesawat tetap stabil saat mengudara.

Namun, karena adanya tekanan bisnis untuk mempercepat sertifikasi pesawat dan kurangnya komunikasi antara tim teknis, manajemen, dan regulator, masalah tersebut tidak disampaikan dengan cukup jelas kepada Federal Aviation Administration (FAA) maupun kepada maskapai pengguna pesawat. Akibatnya, pilot tidak terinformasi dan tidak mendapatkan pelatihan yang memadai mengenai cara menghadapi malfungsi sistem tersebut.

Kurangnya koordinasi dan komunikasi ini akhirnya berkontribusi pada dua kecelakaan fatal, Lion Air JT 610 dan Ethiopian Airlines ET 302. Kasus ini menunjukkan bahwa soft competency seperti komunikasi efektif dan kolaborasi lintas tim, adalah salah satu kompetensi utama yang kritikal terhadap pekerjaannya.

Bahkan perusahaan teknologi tinggi seperti Boeing dapat menghadapi konsekuensi bisnis yang serius, termasuk kehilangan kepercayaan publik dan kerugian finansial besar. Kurangnya soft competency di antara pegawai dapat menyebabkan berbagai masalah dalam organisasi.

Salah satu contohnya terjadi di sebuah pabrik otomotif besar di Jepang. Seorang supervisor produksi yang ahli dalam mengelola mesin dan memastikan efisiensi produksi tidak memiliki keterampilan leadership dan komunikasi yang baik.

Akibatnya, ia gagal memberikan arahan yang jelas kepada timnya dan tidak mampu membangun komunikasi yang efektif antar-shift. Tanpa koordinasi yang baik, standar kerja menjadi tidak konsisten — setiap shift pastinya memiliki cara kerja yang berbeda dalam proses perakitan. Hal ini menyebabkan meningkatnya kesalahan dalam produksi, termasuk pemasangan komponen yang tidak tepat dan kualitas kontrol yang buruk.

Dalam beberapa bulan, tingkat produk cacat melonjak hingga 30%. Biaya produksi pun membengkak akibat pekerjaan yang harus dilakukan berulang. Sementara kepercayaan pelanggan terhadap merek tersebut menurun drastis. Kasus ini menunjukkan bahwa keterampilan teknis saja tidak cukup dalam dunia kerja — tanpa kepemimpinan dan komunikasi yang efektif, bahkan operasi manufaktur yang sangat canggih pun dapat terganggu, menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan.

Banyak perusahaan sukses karena memiliki pegawai dengan soft competency yang sesuai. Sebagai contoh, sebuah perusahaan teknologi global yang menerapkan budaya kolaboratif dan inovatif. Perusahaan ini sering kali menghasilkan produk-produk inovatif dan disruptif yang mengubah pasar.

Google, misalnya, dikenal memiliki lingkungan kerja yang mendukung komunikasi terbuka dan pengambilan keputusan berbasis data, memungkinkan pegawai dan tim dapat bekerja dengan sinergis lintas bagian. Contoh lainnya adalah perusahaan ritel yang berhasil membangun loyalitas pelanggan karena pegawainya memiliki soft competency dalam melayani pelanggan.

Ya betul, melayani pelanggan pun membutuhkan soft competency, bagaimana pegawai dapat mengidentifikasi kebutuhan pelanggan, memiliki solusi dan memecahkan permasalahan yang mungkin dimiliki oleh pelanggan.

Walaupun bukan faktor penentu utama, namun perusahaan yang mengutamakan soft competency sebagai salah satu faktor penting dalam pengelolaan SDM, cenderung lebih adaptif, inovatif, dan bertahan dalam mengahadapi perubahan industri yang cepat.

Banyak praktisi SDM yang ingin membuat keputusan penting tentang SDM tapi tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam menyediakan data objektif bagi manajemen. Salah satu kesalahan umum adalah menggunakan tes potensi psikologis untuk mengukur soft competency.

Potensi psikologis menggambarkan kapasitas dasar seseorang tapi tidak serta-merta menunjukkan bagaimana kompetensi tersebut diterapkan dalam situasi kerja. Misalnya, perusahaan ingin mengukur kemampuan kepemimpinan seseorang tapi hanya menggunakan tes kecerdasan emosional tanpa melihat bagaimana individu tersebut menunjukkan kepemimpinan dalam situasi nyata.

Akibatnya, keputusan promosi atau penempatan bisa kurang akurat, dan karyawan yang kurang siap bisa mengalami kesulitan dalam peran barunya. Assessment Center dapat membantu praktisi SDM mendapatkan gambaran kemampuan pegawai dalam peran barunya, karena Assessment Center menggunakan metode kompleks berupa simulasi dan studi kasus.

Hal ini memungkinkan pengukuran yang lebih komprehensif dalam menilai kompetensi dalam konteks kerja yang sebenarnya, memberikan hasil yang lebih akurat untuk pengambilan keputusan.

Bagaimana memastikan investasi dalam Assessment Center sepadan dengan hasilnya?

Jika kita sudah cukup memahami pentingnya Assessment Center, maka perlu memastikan bahwa pelaksanaannya sudah dilakukan dengan benar, sesuai kaidah-kaidah yang disepakati dan menjadi standar internasional.

Agar investasi dalam Assessment Center memberikan hasil yang maksimal, perusahaan harus memastikan beberapa hal berikut ini:

  1. Pelaksana Assessment Center wajib mengikuti international guidelines and ethical considerations for assessment center operations. Standar internasional ini memastikan bahwa proses asesmen dilakukan dengan etis dan sesuai dengan best practice global.
  2. Memastikan prinsip dasar Assessment Center diterapkan . AC harus mencakup multi assessors (lebih dari satu asesor), multi simulations (lebih dari satu simulasi untuk menilai kompetensi yang sama), dan multi competencies (beberapa kompetensi dinilai dalam berbagai situasi).
  3. Menjaga objektivitas dan transparansi dalam penilaian. Proses asesmen harus terdokumentasi dengan jelas dan berdasarkan bukti yang objektif, bukan opini subjektif asesor.

Dengan pendekatan yang tepat, Assessment Center dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam mengidentifikasi dan mengembangkan talenta terbaik dalam organisasi.

Jadi, dengan memahami pentingnya Assessment Center dan soft competency, perusahaan dapat mengambil keputusan SDM yang lebih tepat dan strategis. Kesalahan dalam pengelolaan SDM bisa berdampak besar terhadap keberlanjutan bisnis, mulai dari menurunnya produktivitas, meningkatnya turnover, hingga kegagalan dalam mengelola dan menjalankan bisnis.

Oleh karena itu, investasi dalam asesmen yang tepat sangat penting untuk memastikan kesuksesan jangka panjang perusahaan. Assessment Center memberikan data yang lebih akurat dan berbasis perilaku, sehingga keputusan terkait rekrutmen, promosi, dan pengembangan karyawan dapat dilakukan dengan lebih baik.

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Baca Juga

Leonardus Dimas Aditya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *