
Risk Intelligence: Saatnya Chief Risk Officer Memimpin dengan Data, Bukan dengan Intuisi
Di tengah dunia bisnis yang semakin kompleks dan serba tidak pasti, risiko bukan lagi sesuatu yang bisa hanya “dihindari.” Risiko harus dikelola, dimanfaatkan, bahkan ditransformasikan menjadi nilai. Kuncinya ada pada Chief Risk Officer (CRO), pemimpin yang tahu bahwa keputusan terbaik bukan yang paling aman, tapi yang paling terinformasi.
CRO Bukan Lagi Tukang Rem, Namun Mesin Navigasi
Dulu, posisi CRO dianggap sebagai “penjaga gerbang”, hanya aktif saat bahaya datang. Tetapi di era digital, CRO harus menjadi navigator utama organisasi, membantu CEO dan CFO membuat keputusan bisnis dengan keberanian berbasis data.
Dalam buku Risk Intelligence: How Artificial Intelligence Can Transform Risk Management karya Gregory M. Carroll (2021), ditekankan bahwa organisasi masa kini membutuhkan CRO yang mampu bergerak lincah di antara kompleksitas data dan ekspektasi stakeholder. CRO modern diharapkan tidak hanya mengelola risiko eksisting, tetapi juga memprediksi potensi ancaman dan peluang di masa depan secara proaktif.
Dengan pendekatan berbasis teknologi seperti artificial intelligence, real-time risk monitoring, dan predictive analytics, CRO kini menjadi co-pilot dalam pengambilan keputusan strategis. Mereka tidak hanya mencegah kerugian, tetapi juga menciptakan skenario mitigasi yang bisa membuka peluang kompetitif di tengah ketidakpastian pasar.
Posisi CRO di Indonesia: Momentum untuk Bergerak Lebih Strategis
Meski urgensi peran CRO semakin diakui secara global, data menunjukkan bahwa adopsi posisi CRO di Indonesia masih belum merata, antara lain:
1. Sektor keuangan, khususnya perbankan dan asuransi telah lebih dahulu membentuk struktur manajemen risiko yang matang, sebagian besar karena tuntutan regulasi OJK.
2. Namun, di sektor non-keuangan khususnya sektor manufaktur, teknologi, perdagangan, dan layanan publik, posisi CRO masih belum menjadi norma umum.
3. Dari penelusuran di berbagai platform rekrutmen profesional, terdapat lebih dari 100 posisi terbuka terkait Chief Risk Officer dan manajer risiko di Indonesia. Ini menunjukkan kebutuhan yang mulai tumbuh, tetapi belum menjangkau seluruh sektor industri.
Realita ini menjadi peluang strategis bagi perusahaan yang ingin berada selangkah lebih maju, yakni membentuk fungsi CRO bukan sekadar pemenuhan regulasi, melainkan investasi dalam tata kelola yang cerdas dan berorientasi jangka panjang.
CRO Sebagai Pemimpin dalam Ekosistem Data Risiko
CRO yang efektif bukan hanya mengelola risiko dalam silo. Mereka harus memimpin orkestrasi data lintas fungsi, mulai dari keuangan, operasional, pemasaran, hingga teknologi informasi, dan mengubahnya menjadi narasi risiko yang strategis dan dapat ditindaklanjuti.
Adapun tanggung jawab CRO mencakup:
· Membangun sistem pelaporan risiko yang terintegrasi dan responsif
· Mengidentifikasi risiko sistemik yang tidak selalu kasat mata
· Menyampaikan implikasi risiko dalam bahasa bisnis yang mudah dipahami oleh jajaran eksekutif dan pemangku kepentingan
CRO masa depan adalah penghubung antara ketidakpastian dan keputusan strategis. Mereka memahami bahwa risiko bukan sekadar ancaman, melainkan instrumen navigasi untuk menentukan arah pertumbuhan berkelanjutan.
Tantangan Lokal: Mengelola Risiko dalam Konteks Indonesia
Di Indonesia, pengelolaan risiko menghadapi tantangan tersendiri:
· Perubahan regulasi yang dinamis dan seringkali mendadak. Di Indonesia, regulasi sering berubah secara cepat dan tidak selalu konsisten antar lembaga pemerintah. Ketidakpastian peraturan ini memaksa perusahaan untuk selalu siap beradaptasi, bahkan di tengah kebijakan yang mendadak atau kontradiktif.
· Ketergantungan pada informalitas dalam pengambilan keputusan. Banyak organisasi di Indonesia masih mengandalkan proses pengambilan keputusan yang tidak terstruktur dan kurang berbasis data. Ketergantungan pada hubungan personal atau informalitas dalam membuat keputusan dapat memicu risiko yang tidak terdeteksi sebelumnya. CRO harus memainkan peran sebagai pemersatu yang memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berlandaskan pada analisis data dan pertimbangan risiko yang matang, bukan hanya intuisi atau hubungan pribadi.
· Keterbatasan integrasi sistem informasi antar-unit. Banyak perusahaan di Indonesia yang belum memiliki sistem integrasi data yang baik antar berbagai fungsi di perusahaan. Informasi yang tersebar dan tidak terkoordinasi dengan baik bisa menyebabkan gagal identifikasi risiko yang lebih besar yang ada di dalam organisasi
· Tingginya eksposur terhadap risiko reputasi di era digital. Di era digital, risiko reputasi di Indonesia menjadi lebih berisiko karena informasi mudah tersebar luas melalui media
sosial. Organisasi harus siap menghadapi tekanan publik yang datang dengan cepat dan tidak terduga. Kejadian seperti berita negatif yang viral atau ketidakpuasan konsumen yang tersebar melalui platform online dapat merusak citra dan merugikan bisnis secara signifikan. Dalam konteks ini, CRO harus memiliki strategi mitigasi risiko reputasi yang menyeluruh dan memiliki kontrol terhadap persepsi publik yang bisa berdampak pada keberlanjutan bisnis.
Alhasil, semua ini menuntut CRO yang tidak hanya paham kerangka kerja risiko internasional, tetapi juga adaptif terhadap dinamika lokal dan sosial politik Indonesia.
Saatnya CRO Menjadi Pilar Strategis Perusahaan
Memasuki dekade baru, pertanyaan strategis bagi para pemimpin organisasi adalah, “Apakah manajemen risiko di organisasi sudah cukup kuat untuk menjadi enabler strategi jangka panjang?” Perusahaan yang lebih cepat mengadopsi CRO sebagai bagian dari tim eksekutif utama akan memiliki keunggulan ketahanan organisasi yang lebih baik, pengambilan keputusan yang lebih presisi, dan kemampuan menavigasi ketidakpastian dengan percaya diri.
Jadi, dengan menjadikan CRO sebagai arsitek risk intelligence, organisasi tidak hanya menghindari kerugian, tetapi juga siap untuk tumbuh, bahkan di tengah risiko.
Program Pelatihan Terkait: