
From Boring to Engaging: 7 Langkah Menerapkan VIRTUAL Training yang Efektif bagi Perusahaan
Pandemi mendorong kita memasuki era virtual training. Namun, seiring kembalinya aktivitas normal, banyak yang bertanya-tanya: apakah virtual training masih relevan, atau pelatihan tatap muka lebih efektif?
Pandemi COVID-19 pada tahun 2019-2021 mempercepat adopsi virtual training, terutama di Indonesia. Ketika pelatihan tatap muka tidak memungkinkan, pertemuan online baik secara real-time maupun on-demand menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan pelatihan dan pengembangan.
Di tahun 2023 dan 2024, meskipun perusahaan mulai kembali ke pelatihan luring (offline), virtual training belum sepenuhnya ditinggalkan. Bisa jadi kebiasaan dari 2019-2021 masih terbawa, atau memang karena melaksanakan virtual training dirasa memiliki lebih banyak kekuatan dibandingkan dengan offline training.
Dari sisi penyelenggara, virtual training tampak lebih mudah disiapkan. Tidak ada kebutuhan untuk venue khusus, konsumsi, atau peralatan yang biasanya memerlukan waktu dan biaya besar. Namun, apakah benar menyelenggarakan virtual training semudah dan semenguntungkan itu?
Secara pelaksanaan, virtual training terbagi menjadi dua metode:
1. Asynchronous: Pelatihan berjalan secara on-demand kapan pun peserta ingin belajar. Misalnya seperti self-learning, video rekaman, forum diskusi, dan lainnya. Peserta bisa mengatur jam belajar sesuai jadwal masing-masing.
2. Synchronous: Pelatihan dilakukan secara live dengan interaksi real-time antara peserta dan pengajar.
Mari kita bahas metode yang kedua, Synchronous. Dari perspektif penyelenggara, dapat kita lihat:
1. Keuntungan Virtual Training
· Persiapan lebih mudah.
Sumber daya yang perlu dipersiapkan cukup banyak mulai dari material sampai ke orang-orang yang terlibat, apalagi jika diselenggarakan di luar kota.
· Biaya lebih rendah
Dari segi biaya, virtual training mengeluarkan biaya yang lebih rendah dibandingkan offline training. Pada offline training, kita perlu menyiapkan venue, konsumsi, biaya transportasi untuk pengajar, peserta, maupun koordinator. Belum lagi membawa material pelatihan seperti handout, flipchart, spidol, spanduk, dan lainnya. Sedangkan di training online, kita tidak mempersiapkan hal tersebut.
· Fleksibilitas waktu
Virtual training membuat peserta dan orang-orang yang terlibat di dalamnya lebih mudah menyesuaikan waktu. Bisa saja pelatihan diadakan dengan pengumuman H-1, hal yang sulit sekali dilakukan jika pelatihan diadakan offline.
2. Tantangan Virtual Training
· Distraksi lebih tinggi
Sulit bagi peserta untuk mengelak dari pekerjaan atau panggilan ketika sedang menjalankan virtual training. Saat virtual training, mayoritas peserta cenderung akan berada di kantor, di mana mereka bisa kapan saja dicolek dan dihampiri atasan maupun rekan kerja dan anggota tim. Hal ini juga yang menyebabkan seringnya peserta tidak fokus dan berujung pada rendahnya komitmen.
· Efektivitas Pembelajaran
Virtual training seringkali bersifat satu arah, meskipun dilaksanakan dalam metode synchronous. Peserta hanya mendengarkan dan mungkin hanya beberapa waktu saja menanggapi ketika mereka mau bertanya dan berdiskusi. Sehingga terkadang pelatihan selesai tanpa peserta mendapatkan key insight atau hal yang bisa mereka bawa ke pekerjaan.
· Suasana yang Tidak Menyenangkan
Pelatihan yang diadakan di suasana baru memang lebih menyenangkan, dibandingkan berada di kantor seperti biasanya. Hal ini yang tidak bisa dicapai dengan mengadakan virtual training, yang biasanya pasti peserta berada di kantor. Sehingga, mayoritas peserta juga merasa offline training lebih menyenangkan, dan cenderung lebih tidak berkomitmen mengikuti virtual training.
Dengan segala tantangan yang ada, virtual training tetap menjadi pilihan ketika dirasa ada kebutuhan dengan keterbatasan seperti biaya, waktu, dan urgensi. Lantas, apakah kita harus mengorbankan efektivitas dari pembelajaran? Jawabannya tentu tidak.
Kita masih bisa untuk melaksanakan virtual training yang efektif dengan menggunakan konsep VIRTUAL berikut ini:
1. Visualize the Content
Terlalu banyak tulisan dan desain yang kaku tidak akan menarik perhatian peserta. Selalu gunakan visualisasi baik gambar ataupun video yang selaras dengan materi untuk memancing engagement peserta.
Dengan tantangan bandwith, kita juga harus memastikan bahwa resolusi gambar yang digunakan jelas (clear). Jika menggunakan video, pastikan tidak terlalu panjang, pasang resolusi yang cukup jelas, dan sertakan subtitle.
2. Interact with Participants
Membangun interaksi dengan peserta sebaiknya dibangun dari sebelum pembelajaran dimulai. Kita bisa memberikan artikel atau video singkat sebagai pemanasan. Bisa juga memancing percakapan di grup, misalnya, terkait artikel atau video singkat tersebut.
Ketika sudah masuk di kelas, bangun interaksi lebih erat dengan aktivitas ice breaking. Bisa dengan permainan, ataupun berkenalan dengan masing-masing peserta. Peserta akan merasa lebih engaged ketika trainer mengetahui atau memanggil namanya di dalam virtual training.
3. Responsibility Mapping
Petakan siapa saja pemangku kepentingan yang memiliki tanggung jawab dalam memastikan pembelajaran ini efektif. Buatlah strategi bagaimana caranya agar para pemangku kepentingan ini bisa mendukung keefektivan pembelajaran.
Seringkali virtual training tidak efektif karena banyak distraksi dari rekan kerja lainnya. Jika kita dari Tim HR perusahaan, kita bisa merekomendasikan peserta untuk mengambil training leave (jika hal tersebut merupakan kebijakan dari perusahaan).
Jika tidak ada kebijakan tersebut, rekomendasikan peserta untuk memasang status di kanal komunikasi bahwa mereka sedang pelatihan dan akan lebih lambat dalam merespons pesan. Hal ini tidak menjamin distraksi peserta berkurang tapi setidaknya orang lain akan lebih sungkan untuk terlalu sering mengganggu para peserta.
4. Tailored Follow-up
Pastikan untuk terus engaged dengan peserta bahkan setelah pelatihan selesai. Jika masih ada pertanyaan yang tidak terakomodir, kirimkan jawaban ke email atau media komunikasi peserta lainnya. Jangan lupa untuk memastikan peserta sudah memiliki materi, dan juga bisa mengakses rekaman pelatihan.
5. Understanding WIIFM (What’s In It For Me?)
Efektivitas pembelajaran tidak hanya diukur dari pemahaman peserta, namun juga dari bagaimana mereka dapat menerapkan ilmu yang didapat ke dalam pekerjaan mereka. Sering kali peserta tidak menyadari atau merasa perlu mengetahui alasan di balik pelatihan yang mereka ikuti.
Namun, ketika mereka memahami manfaat yang akan diperoleh, tingkat keterlibatan dan keseriusan mereka dalam belajar akan meningkat. Oleh karena itu, pastikan menjelaskan WIIFM secara jelas, terutama dengan menekankan bagaimana materi pelatihan dapat diterapkan dalam pekerjaan mereka. Gunakan worksheet atau cheatsheet yang praktis dan langsung dapat digunakan untuk mendukung penerapan pembelajaran. Pendekatan ini tidak hanya membuat pelatihan lebih menarik, namun juga membantu peserta memahami relevansi materi secara lebih mendalam.
6. Adaptive Learning Methods
Bekali trainers dengan kemampuan untuk menjadi fasilitator dan bukan sekadar melakukan presentasi satu arah. Pancing interaksi dengan audiens dengan berbagai macam alat bantu seperti polling online, kuis pendek, dan word-cloud. Alat bantu ini bisa digunakan untuk mengaitkan dengan materi, ataupun sebagai intermezzo.
Manfaatkan teknologi untuk membuat pengalaman pembelajaran lebih seamless. Misalnya, dibandingkan menggunakan worksheet yang peserta akses secara offline (contohnya Powerpoint), kita bisa memanfaatkan Google Slide.
Alhasil ketika peserta masuk ke sesi diskusi kelompok, setiap anggota dalam kelompok bisa mengakses worksheet tersebut dan langsung mengerjakan, atau gunakan platform kolaborasi lainnya misalnya seperti Miro atau Figma.
7. Limited Duration
Menurut penelitian, durasi pembelajaran virtual yang efektif maksimal 45-60 menit per sesi, dengan total maksimal 6 jam per hari. Artinya, dalam setiap sesi harus diselipkan break, bisa dengan cofffee break ataupun screen break. Kita juga bisa merekomendasikan gerakan stretching singkat yang bisa membuat peserta lebih segar.
Jadi, dengan pendekatan yang tepat, virtual training tetap bisa efektif tanpa harus mengorbankan kualitas pembelajaran. Jika perusahaan ingin menekan biaya namun tetap memastikan pelatihan berjalan optimal, hybrid learning — yang menggabungkan sesi daring dan luring — atau microlearning —dengan materi singkat dan fokus — dapat menjadi pilihan yang lebih engaging dan efisien.
Dengan strategi yang tepat, virtual training bisa tetap relevan dan memberikan dampak nyata bagi perkembangan SDM. So, ayo! Kembangkan diri kapan pun di manapun, dengan metode apapun.
*Tulisan ini dimuat di SWA Online
Baca Juga
- Yang Sering Dilupakan oleh Perusahaan, Asessment Center
- Perang Tarif: Eskalasi Kompetisi yang Membangun atau Destruktif?
- Halalbihalal Korporasi: Momentum Rekonsiliasi atau Sekadar Seremoni?
- Korupsi di Negara yang (Katanya) Mudah Memaafkan
- Teknologi vs Kenyamanan: Di Mana Titik Temu pada Sebuah Layanan?
- PPM School of Management