Apakah Budaya atau Aturan yang Membentuk Sebuah Perilaku?
Mana yang lebih dulu menstimulus terbentuknya sebuah perilaku, budaya atau aturan? Apakah harus ada aturan terlebih dulu baru terbentuk perilaku lalu membudaya? Pertanyaan sederhana di atas menarik untuk kita bahas bersama terkait bagaimana sebuah perilaku terbentuk.
Beberapa ahli mendefinisikan perilaku sebagai seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang dalam merespons sesuatu yang diyakini memiliki sebuah nilai. Respons individu terhadap sesuatu hal tersebut dapat berbentuk aktif dan pasif, sebuah respons yang dapat dilihat langsung dan diobservasi disebut sebagai respons aktif. Perilaku keseharian kita sebagai individu seringkali memberikan respons aktif dan respons pasif.
Mengacu pada teori psikologi behaviorisme, perilaku individu dapat terbentuk melalui 3 cara, yakni, pertama, perilaku dapat terbentuk melalui sebuah pembiasaan/conditioning, yaitu dengan membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan dan akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut; kedua, pembentukan perilaku dengan pemberian pengertian/insight, sebuah perilaku dapat terbentuk karena adanya pengetahuan dan kesadaran akan value dari perilaku yang diharapkan; dan ketiga, pembentukan perilaku dengan memberikan contoh/model, seringkali sebuah perilaku terbentuk karena adanya orang lain yang lebih dulu menunjukkan perilaku yang sama.
Dari 3 cara pembentukan perilaku, psikologi behaviorisme menekankan bahwa pola-pola perilaku individu dapat terbentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan dengan menciptakan berbagai stimulus tertentu, yang jika dialurkan akan menjadi sebagai berikut, “Stimulus > Respons” atau “Stimulus > Organisme (Individu) > Respons”.
Pembentukan sebuah perilaku tidak hanya dilihat dari bagaimana perilaku tersebut dapat terbentuk, namun perlu dipertimbangkan juga faktor-faktor yang mendorong perilaku tersebut terbentuk. Beberapa literatur menyebutkan bahwa paling sedikit terdapat tiga faktor pendorong sebuah perilaku.
Pertama, faktor predisposisi, faktor pengetahuan dan sikap seseorang atau masyarakat terhadap apa yang akan dilakukannya seperti kepercayaan, tradisi, budaya, sistem yang berlaku, dan nilai di lingkungan masyarakat sekitar. Kedua, faktor pemungkin atau pendukung, faktor yang mendukung dan memfasilitasi terjadinya perilaku yang diharapkan, seperti sarana dan prasarana yang mendukung. Ketiga, faktor penguat, seringkali sebuah perilaku tidak cukup terbentuk hanya dengan sebuah pengetahuan, sikap dan fasilitas yang tersedia. Masih diperlukan faktor penguat seperti role model dari tokoh masyarakat, adanya peraturan yang berlaku, undang-undang, kebijakan dari pemerintah setempat dan berbagai ketentuan lainnya yang diperlukan untuk memperkuat sebuah perilaku.
Salah satu contoh perilaku individu akhir-akhir ini yang menjadi sorotan, dan sebagai sebuah respons aktif adalah perilaku zero waste atau biasa kita sebut sebagai perilaku sadar lingkungan. Perilaku zero waste ini, kita tunjukkan melalui perilaku tidak membuang sampah sembarangan, perilaku memilah sampah, perilaku gotong royong membersihkan lingkungan, dan berbagai perilaku lainnya.
Desa Penglipuran Bali dan Desa Kamikatsu Tokushima merupakan dua desa di negara berbeda yang masyarakatnya menunjukkan perilaku sadar lingkungan sebagai sebuah respons aktif terhadap isu lingkungan. Menariknya, perilaku masyarakat di kedua desa tersebut tidak terbentuk begitu saja, namun terbentuk dalam waktu puluhan tahun dan memiliki faktor pendorong pembentuk perilaku yang berbeda. Mari kita bahas bagaimana masing-masing masyarakat/individu di kedua desa tersebut berperilaku.
Berdasarkan hasil pengamatan perilaku individu di Desa Kamikatsu sebagai salah satu desa terbersih dan memiliki pusat waste management terbesar di Jepang, perilaku bersih masyarakat di sana terbentuk melalui proses pembiasaan. Proses pembiasaan yang terjadi melalui pembiasaan memilah sampah, masyarakat Jepang dibiasakan untuk memilah setiap sampah yang dihasilkan, awal mula pemilahan sampah dibagi menjadi sembilan kategori, lalu berkembang menjadi 22 kategori dan saat ini sudah terbagi menjadi 45 kategori sampah.
Menariknya, proses pembiasaan memilah sampah dari sembilan ke 45 kategori terlalui dalam jangka waktu 20 tahun. Waktu yang sangat lama untuk membangun sebuah kebiasaan memilah sampah sebanyak 45 kategori. Proses pembiasaan ini didukung oleh faktor pemungkin dan faktor penguat yang sangat efektif mendorong perilaku masyarakat dalam berperilaku zero waste.
Faktor pemungkin yang mendorong perilaku masyarakat Desa Kamikatsu adalah tersedianya fasilitas pengelolaan sampah terpusat, tersedianya berbagai teknologi yang canggih (seperti tisu toilet yang dapat dibuang ke kloset), program kampanye dan kolaborasi dengan berbagai perusahaan multinasional dalam mendaur ulang sampah.
Sedangkan untuk faktor penguat yang sangat efektif dalam membentuk perilaku masyarakat Desa Kamikatsu adalah adanya peraturan dari pemerintah setempat bahwa bagi siapapun yang tinggal di Desa Kamikatsu wajib berpartisipasi dalam program “waste management” karena pemerintah setempat sudah mendeklarasikan bahwa Desa Kamikatsu berkomitmen untuk Zero Waste per september 2003. Perilaku zero waste yang ditunjukkan oleh masyarakat Desa Kamikatsu terbentuk karena adanya kebijakan/aturan pemerintah desa setempat melalui proses pembiasaan memilah sampah secara mandiri dengan fasilitas pusat pengelolaan sampah terpusat.
Berbeda dengan masyarakat Desa Kamikatsu, perilaku zero waste masyarakat di Desa Penglipuran Bali sebagai salah satu desa terbersih di Indonesia terbentuk melalui proses modeling. Perilaku zero waste masyarakat Desa Penglipuran dilatarbelakangi karena adanya tradisi budaya yang turun menurun dari role model “nenek moyang” yang pada zaman dulu sudah menjalankan tradisi untuk menjaga lingkungan sekitar (terutama rumah) untuk selalu bersih dengan melakukan pembersihan setiap harinya pukul 6 pagi di pekarangan rumah.
Masyarakat Desa Penglipuran juga menjunjung tinggi nilai agama Hindu Tri Hita Karana, yang menekankan pada bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku masyarakat Desa Penglipuran melalui proses modeling ini didukung oleh faktor predisposisi yang sangat kuat, yakni tradisi pembersihan yang sudah turun menurun, nilai agama yang harus menjaga keseimbangan dengan lingkungan hidup, serta keyakinan masyarakat yang kuat bahwa “nyampah itu sesuatu hal yang memalukan” dan keyakinan akan kebermanfaatan yang dirasakan dari sekadar menyapu hingga saat ini menjadi desa wisata.
Selain faktor predisposisi, terdapat juga faktor penguat yang mendukung, yakni adanya role model nenek moyang, tokoh kepala adat yang dihormati, serta aturan adat/”aweg-aweg” yang berlaku.
Belajar dari perilaku masyarakat Desa Kamikatsu dan Desa Penglipuran yang terbentuk dengan cara yang berbeda dan dengan ciri khas faktor pendorong tertentu, maka untuk dapat menghasilkan sebuah perilaku yang diharapkan melalui sebuah proses pembiasaan diperlukan faktor penguat seperti aturan/kebijakan yang jelas dan mudah untuk diimplementasikan oleh masyarakat.
Sedangkan untuk perilaku yang diharapkan terbentuk dari sebuah proses modeling diperlukan faktor predisposisi dalam bentuk sebuah tradisi/budaya atau nilai yang sudah diyakini turun-menurun melalui percontohan langsung. Baik proses pembiasaan maupun proses modeling sama-sama memiliki tantangan dalam membentuk sebuah perilaku, yakni diperlukannya sebuah jangka waktu yang cukup lama dan konsisten dalam pengimplementasiannya sehingga terbentuk sebuah perilaku baru.
Maka dari itu, baik budaya (culture) maupun aturan (rules) sama-sama faktor yang memperkuat sebuah perilaku terbentuk. Oleh karena itu baik budaya maupun aturan merupakan faktor yang memperkuat terbentuknya perilaku dan hasilnya sangat efektif.
(Artikel ini merupakan hasil penelitian yang didanai oleh Sumitomo Foundation)
Baca juga artikel ini:
Belajar Kepemimpinan dari Serial Ted Lasso
Program unggulan PPM School of Management: