Anda Itu Lebih dari Sekadar Mesin Sukses

Anda Itu Lebih dari Sekadar Mesin Sukses

Dalam suatu kesempatan, penulis berdiskusi dengan seorang staf yang memasuki usia pensiun setelah mengabdi kurang lebih 32 tahun di suatu perusahaan. Bagi penulis, angka 32 itu merupakan suatu pencapaian yang sangat luar biasa. Bayangkan, betapa kuat komitmen dan loyalitas dia bagi pencapaian kinerja perusahaan.

Sambil menikmati kopi latte hangat, dia mulai menuturkan apa rahasia bertahan untuk berkarier di satu perusahaan selama ini. Dengan raut wajah yang tetap cerah meski di usia senjanya, dia berujar bahwa daya dukung keluarga merupakan syarat mutlak. Ibaratnya, keikhlasan keluarga dalam mensyukuri setiap berkat yang Tuhan berikan merupakan spirit bagi dia untuk terus mengabdi di perusahaan, tanpa pernah berpikir untuk mencari penghidupan yang lebih tinggi.

Jujur, bagi penulis, kalimat itu seperti sebuah filosofi hidup dari seorang Bapak yang sangat sederhana. Buat generasi kita terkadang cukup sulit untuk membayangkan hidup begitu lama di suatu perusahaan. Tak jarang bahkan saya melihat curriculum vitae yang menggambarkan kegigihan seseorang dalam mencari kehidupan yang lebih baik. Ada yang bahkan berpindah tempat kerja tiga kali dalam dua tahun terakhir.

Dalam riset yang dilakukan oleh sebuah Fakultas Psikologi, terdapat temuan bahwa tingkat stres Generasi Milenial dan Z lebih tinggi dibanding generasi-generasi sebelumnya. Mengapa?

Karena tanpa disadari, mereka memposisikan diri sebagai mesin sukses perusahaan. Prinsip yang mengatakan bahwa kita direkrut dengan satu tujuan yakni memperkuat pasukan perusahaan dalam memenangkan peperangan, kini terasa seperti sebuah jebakan. Sebab dengan pemikiran tersebut kita melihat diri sebagai sebuah mesin sukses. Alhasil segala daya upaya dan energi semua disalurkan untuk menghidupkan mesin tersebut.

Padahal di sisi lain, kita sering melupakan adanya kebutuhan untuk mengapresiasi diri sendiri. Ketika target tidak tercapai maka yang sering dirasakan adalah kegagalan, stres berkepanjangan dan bahkan putus asa.

Satu hal yang alpa pada konteks di atas sebenarnya adalah, tahap apresiasi terhadap proses yang telah kita lewati. Sebab semuanya itu merupakan sebuah pembelajaran hidup yang luar biasa berharga. Ingatlah bahwa kita bukanlah sekadar mesin sukses. Kita bahkan jauh lebih berharga dari mesin sukses itu sendiri.

Penulis pernah mempelajari sebuah konsep yang mengajarkan kita bahwa setiap pemaknaan dalam kehidupan terjadi ketika kita benar-benar hadir dalam aktivitas atau bahkan rutinitas yang ada. Dengan kata lain “enjoy every moment that we have”. Di situ kita bisa benar-benar menikmati proses dan keindahan di mana Sang Maha Kuasa membentuk kita menjadi pribadi yang mampu memaknai sebuah kesuksesan bahkan di situasi yang orang lain sebut dengan kegagalan.

Ketika penulis bertanya kepada Bapak dalam cerita di atas, “apakah Bapak cukup secara finansial?”, jawabannya cukup membuat heran. “Ada banyak bulan di mana itu tidak cukup, mas. Tapi yang saya syukuri sampai hari ini adalah bahwa keluarga saya tidak pernah mengatakan tidak cukup. Malah dengan cara itu, semuanya mampu saya tutup secara keuangan”.

Kita pasti sudah tak asing dengan konsep work life balance, bukan? Konsep ini sebenarnya kurang elok jika dipahami dalam konteks keseimbangan antara tekanan kerja dengan hiburan yang pada akhirnya membuat orang-orang beramai-ramai melakukan healing selama beberapa saat.

Namun pernahkah kita berpikir bahwa setelah healing dilakukan dan kita kembali pada rutinitas kerja maka tekanan-tekanan itu akan mulai terasa lagi. Jika demikian, masih layakkah kita menyebut healing sebagai obat dari kejenuhan yang ada?

Bagi penulis, hal itu sudah tak lagi layak. Satu alternatif yang perlu kita pikirkan adalah melihat diri kita lebih dari sekadar mesin sukses. Mari kita mulai memberanikan diri untuk mendefinisikan sukses secara pribadi, yang mungkin berbeda dari cara pandang yang ada saat ini.

Namun percayalah, bahwa ukuran yang kita kenakan pada diri kita secara tidak langsung merupakan bentuk penghargaan dan rasa syukur atas semua proses yang telah terjadi. Tinggal sekarang, seberapa besar keberanian kita melakukan hal tersebut?

Selamat berefleksi!

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Baca Juga

Aries Heru Prasetyo

Leave a Reply

Your email address will not be published.