Strategi ‘Spread The Risk’ Indonesia dalam Pengadaan Vaksin Corona
Pandemi Covid-19 yang disebabkan oleh Virus Corona mulai terdeteksi di Indonesia sudah lewat dari setahun. Seiring berjalannya waktu, semua pihak melihat bahwa vaksinasi adalah solusi bagi umat manusia. Kita dapat saja berharap Virus Corona akan melemah dengan sendirinya, seperti pada Virus MERS atau SARS yang muncul 10-20 tahun belakangan. Namun vaksinasi tetap perlu karena para ahli melihat bahwa Virus Corona akan selamanya ada di dunia ini.
Untuk Indonesia sendiri, bagaimanakah strategi memperoleh Vaksin Corona? Ada dua strategi pengadaan (procurement) yaitu dengan mengadakan sendiri (memproduksi sendiri) atau membeli dari pihak lain. Indonesia membuat Vaksin Corona oleh perusahaan Biofarma dan diperkirakan baru akan tersedia pada akhir tahun 2021 atau awal tahun 2022. Sehingga dari Maret 2020 hingga akhir 2021 Indonesia harus membeli vaksin dari negara lain.
Presiden Jokowi dengan cepat menginstruksikan jajarannya untuk memesan vaksin di masa awal munculnya Covid-19. Menunggu vaksin produksi sendiri artinya terlalu lama membiarkan masyarakat berhadapan dengan Virus Corona. Tercatat hingga pertengahan Februari 2021 (hampir satu tahun sejak munculnya Virus Corona) ada 1,2 juta penduduk terpapar Virus Corona.
Angka penambahan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Maka intervensi (yaitu tindakan vaksinasi) perlu segera dilakukan. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri BUMN Erick Thohir dengan cepat melakukan lobi dan negosiasi ke berbagai negara demi memperoleh vaksin, bahkan ketika vaksinnya sendiri belum tersedia (atau, sistem ijon).
Vaksin yang telah dipesan sebelum tahun 2020 berakhir adalah: Sinovac, Cina (122 juta dosis vaksin), Novavax, Amerika (50 juta), Covax, Inggris (54 juta), AstraZaneca (50 juta), Pfizer, Jerman (50 juta). Selain itu, Indonesia masih memiliki opsi penambahan dosis vaksin sebanyak 100 juta dari kelima produsen vaksin tadi.
Dalam konsep Procurement, mengadakan supply dari lebih 1 (satu) supplier adalah strategi yang baik, apalagi Indonesia masih belum mampu mengadakan sendiri vaksin Corona dengan cepat. Jika salah satu supplier vaksin Corona terlambat memproduksi atau mengirim vaksin ke Indonesia dapat diantisipasi dari kiriman supplier yang lain, sehingga Indonesia mampu menyebar risiko (spread the risk) dari pasokan vaksin Corona.
Mari kita perdalam menyoal strategi spread the risk ini. Negosiasi dengan Cina mungkin akan lebih mudah, yaitu dengan menonjolkan posisi Indonesia sebagai mitra dagang dan kerjasama strategis dengan Cina, misalnya, beberapa proyek infrastuktur strategis dibangun oleh Cina seperti kereta cepat Jakarta-Bandung.
Namun, negosiasi dengan negara-negara Barat seharusnya lebih sulit, mengingat secara geopolitik posisi Indonesia di mata negara-negara Barat lemah. Misalnya, beberapa bulan sebelum Pandemi Covid-19 muncul, Indonesia dan Eropa bersitegang terkait itu kelapa sawit Indonesia yang dipandang merusak hutan (deforestasi). Sehingga butuh negosiasi yang baik untuk dapat meyakinkan mereka agar memprioritaskan Indonesia sebagai penerima vaksin.
Masyarakat umum tidak memperoleh informasi bagaimana Indonesia berhasil memesan vaksin, bagaimana negosiasi atau strategi meningkatkan daya tawar Indonesia di mata negara-negara Barat. Bagaimanapun, Indonesia berhasil memesan vaksin. Ini perlu diapresiasi.
Dalam perjalanannya, muncul perdebatan mengenai vaksin mana yang terbaik? Untuk menjawabnya, kita harus menempatkan diri sebagai Pemerintah Indonesia di masa tiga bulan pertama munculnya Pandemi Covid-19, di mana pada waktu itu kita tidak memiliki pandangan apa-apa mengenai karakter Virus Corona, dampaknya, serta vaksin terbaik. Ditambah pula posisi tawar Indonesia sebagai negara tidak selalu kuat di hadapan setiap negara.
Sehingga, memperoleh vaksin dari negara-negara yang sudah teruji mampu menghadapi pandemi dan dari negara-negara dengan kemampuan dan teknologi membuat vaksin yang baik adalah langkah terbaik yang dapat kita tempuh.
Pertimbangan berikutnya adalah hal teknis seperti tingkat efikasi vaksin, revaksinasi, dan tantangan logistik untuk mendistribusikan vaksin ke seluruh wilayah Indonesia. Sampai dengan Februari 2021, informasi dari WHO menyebutkan tingkat efikasi semua vaksin yang dipesan Indonesia melebihi 70%, yang artinya sudah baik.
Dari sisi revaksinasi, vaksin Sinovac dari Cina memperkirakan perlu revaksinasi dalam jangka waktu dua tahun. Sementara itu, vaksin Pfizer kabarnya belum dapat memperkirakan jangka waktu revaksinasi karena menggunakan metode baru yaitu metode nRNA. Mungkin dengan vaksin Pfizer perlu dilakukan revaksinasi dalam jangka waktu dua tahun, mungkin dalam tiga tahun, mungkin empat tahun, atau dalam waktu lima tahun tapi perlu dua kali revaksinasi. Sehingga risiko Vaksin Sinovac sebenarnya lebih rendah karena lebih terprediksi.
Terakhir adalah dari sisi logistik. Vaksin Sinovac dan Astra Zaneca perlu disimpan dalam container dengan suhu 2-8 derajat Celcius. Alternatif penyimpanan adalah di cold storage di industri makanan atau perikanan yang sudah dimiliki Indonesia. Sementara itu, Vaksin Pfizer butuh tempat penyimpanan dengan suhu minus 70-80 derajat Celcius, yang mana Indonesia belum memiliki alternatif container, packaging, maupun storage sejenis. Sehingga risiko Vaksin Sinovac dan Astra Zaneca lebih rendah.
Tidak heran jika Indonesia memesan Vaksin Sinovac dalam jumlah paling besar. Namun kita belum tahu apa yang akan terjadi di hari-hari mendatang. Bukan tidak mungkin ternyata Vaksin Pfizer memberikan tingkat efikasi lebih tinggi dan bahkan tidak perlu revaksinasi.
Maka dari itu, strategi spread the risk oleh Indonesia dengan memesan vaksin dari berbagai sumber sudah tepat. Kita perlu mensyukuri usaha Pemerintah Indonesia dalam menyediakan vaksin. Tercatat pada awal 2021 masih banyak negara berkembang belum memperoleh vaksin, apalagi melakukan vaksinasi, seperti Malaysia dan Bangladesh.
*Tulisan ini dimuat di BUMN Track Online