Perang Tarif: Eskalasi Kompetisi yang Membangun atau Destruktif?

Perang Tarif: Eskalasi Kompetisi yang Membangun atau Destruktif?

Kita tentu tidak asing dengan istilah “perang harga”. Mulai dari persaingan sengit antar operator telekomunikasi dengan gempuran promo paket internet, hingga kompetisi diskon besar-besaran di industri e-commerce, transportasi online, dan berbagai sektor ritel lainnya. Fenomena ini seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika pasar.

Namun, pernahkah kita benar-benar merenungkan akar permasalahan dan konsekuensi jangka panjang dari “perang” ini?

Di tengah gembar-gembor harga murah yang memanjakan konsumen ini, sebetulnya kita dapat mengidentifikasi sebuah pola perilaku sistemik yang dikenal sebagai Archetype “Escalation” dalam kerangka berpikir System Thinking.

Sederhananya, eskalasi terjadi ketika tindakan suatu pihak direspons oleh pihak lain dengan tindakan serupa, bahkan lebih intens, lalu menciptakan siklus persaingan yang terus meningkat.

Bayangkan skenario klasik, pelaku bisnis A menurunkan harga produknya, pelaku bisnis B melihat ini sebagai ancaman terhadap pangsa pasarnya, lalu bereaksi dengan menurunkan harganya lebih rendah lagi. A tidak tinggal diam, kembali memangkas harga, dan begitu seterusnya. Inilah eskalasi, sebuah “perang” yang dipicu oleh persepsi ancaman dan keinginan untuk unggul sesaat.

Siapa Tertawa, Siapa Merana?

Dalam jangka pendek, konsumen jelas menjadi pihak yang diuntungkan. Harga barang dan jasa menjadi lebih terjangkau, bahkan cenderung murah.

Namun, di balik senyum konsumen, tersimpan potensi kerugian besar secara jangka panjang bagi para pelaku bisnis dan ekosistem di sekitarnya. Mulai dari keuntungan/margin keuntungan yang menipis, investasi jangka panjang terancam, inovasi terhambat, bahkan hingga potensi pemutusan hubungan kerja dan kesulitan bagi para vendor yang terlibat dalam rantai pasok industri tersebut.

Fenomena ini ternyata tidak hanya ditemui dalam persaingan bisnis di tingkat lokal. Kita bisa menyaksikan pertempuran sengit skala global saat ini melalui “perang tarif” yang sedang memanas antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Namun, alih-alih harga yang murah, dinamika yang sedang terjadi saat ini sudah mulai mencetak kerugian-kerugian seperti yang dapat dilihat pada dinamika di pasar saham dan sentimen pasar.

Kalau sudah begini, siapa sebenarnya yang akan keluar sebagai pemenang sejati? Bukankah sangat mungkin bahwa tidak ada pihak yang benar-benar menang, dan justru kerugian besar akan menimpa berbagai sektor ekonomi global?

Lebih jauh lagi, fenomena perang harga ini dapat kita lihat sebagai cerminan dari ketidakmampuan para pelaku pasar, bahkan yang seharusnya menjadi pemimpin dan panutan, untuk melihat gambaran yang lebih besar.

Alih-alih berfokus pada inovasi, kualitas produk dan layanan, serta membangun ekosistem yang sehat dan berkelanjutan, energi justru terkuras dalam upaya saling mengalahkan melalui harga yang tidak sehat atau melalui tarif pajak yang tidak masuk akal.

Bukankah seharusnya para pemain besar dalam industri dan para kepala negara ini mampu berpikir lebih strategis dan dewasa? Mampu melihat bahwa persaingan yang sehat adalah tentang menciptakan nilai, bukan sekadar memangkas harga hingga titik nadir. Mampu memahami bahwa keberlanjutan bisnis tidak hanya diukur dari pangsa pasar sesaat, namun juga dari kesehatan finansial, inovasi yang berkelanjutan, dan dampak positif bagi seluruh ekosistem.

Nyatalah bahwa para pemimpin harus dilengkapi dengan kemampuan untuk berpikir secara holistik/sistemik serta mempertimbangkan dampak langsung dan tidak langsung maupun jangka pendek dan jangka panjang dari setiap intervensi yang diambil.

Melampaui Persepsi Sempit: Saatnya Mengubah Model Mental

Archetype Eskalasi mengajarkan kita bahwa untuk keluar dari siklus destruktif ini, dibutuhkan perubahan mendasar dalam model mental atau kerangka pikir (mindset) dan persepsi para pelaku. Alih-alih melihat tindakan kompetitor sebagai ancaman yang harus dilawan dengan tindakan serupa, perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika sistem secara keseluruhan.

It takes two to tango (and to have an argument); but it only takes one to stop it. Seperti kata pepatah saat ini, jika saja ada salah satu pihak yang bersedia mengubah pola pikirnya dan mengambil tindakan berbeda, hal ini dapat memberi dampak yang berbeda dalam dinamika yang sedang terjadi.

Dialog dan kesepakatan, bahkan mungkin kolaborasi yang terjadi dapat memberikan win-win solution yang dalam jangka panjang dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Mungkin saatnya bagi para pemimpin industri untuk duduk bersama, berdialog, dan mencari solusi yang lebih konstruktif. Fokus pada penciptaan nilai jangka panjang, inovasi yang berkelanjutan, dan membangun ekosistem yang saling menguntungkan melalui kolaborasi. Hal-hal ini akan jauh lebih bermanfaat daripada terjebak dalam “perang” yang pada akhirnya merugikan semua pihak.

Fenomena perang harga, sekecil apapun skalanya, adalah cerminan dari pola pikir yang perlu kita evaluasi bersama. Sebagai konsumen, kita mungkin menikmati harga murah, namun sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar, kita perlu menyadari konsekuensi jangka panjangnya.

Sebagai para profesional dan pemimpin, mari kita mulai mengadopsi System Thinking untuk memahami akar permasalahan dan mencari solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Selamat berefleksi!

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Baca Juga

Nina Ivana Satmaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *