Ekosistem Ideal bagi Sustainable Finance
Sebagai salah satu tujuan dari program global sustainable development, semua negara kini berupaya untuk membangun ekosistem yang ideal dalam mendukung terciptanya keberlanjutan bisnis dan ekonomi jangka panjang. Betapa tidak, usia bumi yang semakin tua kini semakin diwarnai oleh sejumlah bencana mulai dari cuaca ekstrim, pemanasan global hingga kebakaran hutan. Jika orientasi ekonomi tidak segera diubah maka keberlangsungan kehidupan akan semakin dipenuhi dengan tanda tanya.
Salah satu jawabannya adalah dengan menerapkan sustainable finance. Dalam semangat ini, setiap keputusan investasi dilandasi pertimbangan dari tiga sisi yakni environment, social dan governance atau yang dikenal dengan ESG. Dari sisi environment, setiap keputusan investasi harus berangkat dari pemahaman apakah dana yang diinvestasikan akan berdampak buruk pada keberlangsungan lingkungan hidup. Kalkulasi biaya restorasi alam sebagai konsekuensi proses produksi kiranya patut diperhitungkan dalam simulasi anggaran. Demikian pula dengan biaya mitigasi risiko, kalau-kalau restorasi yang programkan belum berhasil dilakukan.
Selanjutnya dari sisi sosial, investor akan mempertimbangkan sejauh mana investasi yang akan dilakukan itu didukung oleh rantai nilai dan komunitas yang mengusung dasar paradigma yang sama, bahwa setiap investasi harus memperhatikan konsekuensi jangka panjang yang akan terjadi. Masing-masing elemen masyarakat perlu memiliki kesadaran yang sama akan apa yang terjadi dengan alam setelah proses produksi selesai dilakukan. Pada konteks ini, tak jarang investor turut mempertimbangkan potensi limbah atau “waste” tak hanya dari sisi produksi melainkan juga saat konsumsi selesai dilakukan.
Belum berhenti di situ, pada sisi yang ketiga, investor juga mempertimbangkan sejauh mana perusahaan yang menjadi target investasinya menjalankan kebijakan anti suap dan korupsi, manajemen risiko dan keberagaman. Dalam diskusi dengan komunitas investor muda (di bawah 25 tahun) beberapa waktu lalu, penulis kagum dengan semangat yang secara konsisten dibangun. Pernyataan seperti berikut merupakan hal lazim “….dalam berinvestasi, kami tak hanya mengikuti arah pergerakan pasar saham. Kami teliti perusahaan yang menjadi target, dan kami pastikan bahwa mereka konsisten menerapkan manajemen risiko, tidak hanya sebatas mempunyai sertifikasi tapi nyata penerapannya di lapangan. Hal yang sama juga di sisi anti suap dan keberagaman dalam mengelola talenta.”
Boleh dikatakan bahwa ini adalah sebuah tren investasi abad ini. Investasi yang tidak hanya mengacu pada potensi dividen yang akan diterima atau besarnya capital gain yang akan diperoleh, tapi menempatkan keberlanjutan bumi sebagai hal teratas.
Semangat yang militan ini kiranya membutuhkan ekosistem yang mendukung. Pertama dari sisi regulasi. Otoritas Jasa keuangan sejak beberapa tahun terakhir telah menerbitkan sejumlah peraturan yang turut mendukung pertumbuhan gerakan ini. Satu di antaranya adalah peraturan OJK nomor 51 tahun 2017 yang secara khusus mendukung implementasi ESG di sektor jasa keuangan. Besar harapannya bahwa regulasi ini juga dapat menginspirasi sektor-sektor lainnya.
Baca Juga
Kedua, dari sisi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sejak 2023 lalu telah menerbitkan pedoman asesmen penerapan faktor environmental, social dan governance bagi Badan Usaha Milik Negara. Hal ini dinilai sangat krusial, sebab ketika BUMN telah menerapkan prinsip ESG maka perlahan namun pasti setiap mitra kolaborasinya akan dituntut untuk melakukan hal yang sama. Di sinilah efek sistemik itu akan terjadi.
Ketiga, dari sisi prosedur pengungkapan laporan keuangan serta laporan keberlanjutan manajemen dari sisi ESG. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya tren peningkatan dari sektor perbankan untuk melaporkan setiap kebijakan dan hasil kinerja dari sisi ESG di laporan manajemen maupun sustainability report.
Faktor terakhir yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran dari seluruh elemen masyarakat. Motif mencari keuntungan sesaat dari sebuah investasi perlu digantikan dengan pemahaman jangka panjang akan dampak lanjutan dari investasi tersebut. Jangan sampai suatu investasi hanya menguntungkan satu generasi untuk selebihnya merugikan generasi-generasi selanjutnya. Dengan demikian tanggung jawab membangun ekosistem bagi sustainable finance juga ada di tangan kita. Jika gerakan itu tidak dimulai dari sekarang maka kapan lagi?
Selamat berefleksi, sukses senantiasa menyertai Anda!
*Tulisan ini dimuat di SWA Online