Bagaimana Nanti atau Nanti Bagaimana?

Bagaimana Nanti atau Nanti Bagaimana?

Saat mengimplementasikan suatu rencana, kita tentu tidak lepas dari risiko atau persoalan potensial di masa yang akan datang.

Umumnya ada dua sikap terhadap persoalan potensial tersebut, ada yang berpendapat bahwa kita perlu memprediksi apa saja yang mungkin terjadi, menduga apa penyebabnya serta menyiapkan antisipasinya, baik berupa pencegahan supaya persoalan potensial  atau risiko tidak terjadi, atau penanggulangan jika persoalan potensial atau risiko tersebut sampai terjadi juga. Ada pula yang berpendapat yang penting kita jalankan saja, soal apa yang mungkin terjadi, itu urusan nanti.

Sikap yang pertama dapat diringkas dengan kata-kata “Nanti Bagaimana?”, sedangkan sikap yang kedua dapat diringkas dengan kata-kata “Bagaimana Nanti”.

Nenek moyang kita sudah mengajarkan pentingnya tindakan antisipatif melalui berbagai kearifan lokal. Sebagai contoh, masyarakat di Korea zaman dulu sadar bahwa saat musim dingin tidak dapat menanam sayuran maka mereka punya kebiasaan membuat kimchi atau acar/asinan berbahan sayur sawi.

Nenek moyang bangsa-bangsa di Nusantara juga terbiasa mengawetkan hasil laut dengan cara diasinkan agar saat musim cuaca buruk meskipun tak dapat melaut kebutuhan akan hasil laut tetap dapat tercukupi. Masyarakat di pulau-pulau kecil di tepi samudera punya pedoman yang disampaikan secara turun temurun melalui cerita-cerita pengantar tidur, yang intinya saat terjadi gempa larilah mengikuti larinya binatang-binatang liar atau ternak yang tidak diikat atau dikandangkan. Naluri binatang liar yang akan segera berlari ke arah perbukitan inilah yang antara lain menyelamatkan warga Pulau Semeleu di lepas pantai Barat Aceh saat bencana Tsunami tahun 2004 silam.

Jika pada keluarga atau masyarakat di suatu daerah sikap antisipatif terhadap risiko di atas dapat diwariskan dan terlestarikan melalui dongeng sebelum tidur, kebiasaan atau ritual yang rutin dilakukan bersama, hal tersebut belum tentu berlaku sama di lingkungan kerja atau organisasi tempat kerja.

Pengalaman Generasi  X di suatu organisasi dalam menghadapi kesulitan saat krisis moneter terjadi di tahun 1998 lalu misalnya, belum tentu terbayangkan oleh Generasi Milenial sekarang ini, apalagi sebagian dari Generasi X yang pernah mengalaminya sudah memasuki usia pensiun.

Pengalaman menangani suatu musibah di tempat kerja seperti kebakaran atau kecelakaan kerja atau produk cacat di masa yang lalu belum tentu tersampaikan kepada generasi yang lebih muda. Pengelolaan pengetahuan (knowledge management) melalui dokumentasi serta berbagi dan saling memperkaya pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman sangat mendukung kelengkapan identifikasi dan analisis dalam pengelolaaan risiko. Jika pedoman dalam mengantisipasi risiko dibakukan dalam prosedur, maka tingkat keyakinan keberhasilan pelaksanaan tugas akan meningkat.

Dalam melaksanakan tugas di proyek-proyek jasa konsultansi manajemen yang terkait dengan penyempurnaan mekanisme kerja lintas fungsi (prosedur), salah satu peluang penyempurnaan yang sering terlihat adalah kurangnya antisipasi terhadap kondisi alternatif atau risiko yang mungkin terjadi dan mungkin dapat mengganggu pelaksanaan proses bisnis yang bersangkutan.

Hal ini mungkin disebabkan pada saat prosedur tersebut disusun, para penyusunnya hanya membayangkan kondisi normal saja, sehingga tahapan proses-proses disusun sebagai suatu daftar kegiatan yang berurutan saja. Jika pada pelaksanaannya terjadi kondisi tidak normal yang tidak dipertimbangkan maka prosedur tersebut jadi tidak relevan lagi. Kejadian ini umumnya menjadi dasar dilakukannya “pengecualian” terhadap prosedur, suatu hal yang jika terlalu sering terjadi, menunjukkan rendahnya kemamputerapan dari prosedur yang disusun.

Adanya sikap sebagian orang yang menganggap suatu musibah atau kecelakaan atau cacat produk sebagai suatu “aib” yang memalukan dan tidak perlu diketahui orang lain, dapat membuat kita kehilangan kesempatan untuk menarik pembelajaran berharga dari berbagai kejadian tersebut.

Dari ulasan di atas, kita berpeluang untuk dapat meningkatkan efektivitas manajemen risiko di organisasi kita, melalui peningkatan efektivitas pengelolaan pengetahuan serta peningkatan kemamputerapan prosedur (standard operating procedure/SOP).

Peningkatan kemamputerapan prosedur umumnya dapat diperoleh dengan menyelipkan simbol “belah ketupat” atau simbol “keputusan” untuk mengantisipasi risiko atau persoalan potensial. Secara ringkas, keterkaitan antara Pengelolaan Risiko, Pengelolaan Pengetahuan, dan Prosedur, dapat digambarkan pada bagan berikut ini.

Jika kita kembali pada dua pilihan sikap, “Nanti Bagaimana?” dengan “Bagaimana Nanti”,  bukan berarti pada semua rencana kita harus bersikap “Nanti Bagaimana?”, karena belum tentu pada semua rencana kita dapat memperoleh informasi untuk mengidentifikasi dan menganalisis penyebab risiko.

Rencana pengembangan usaha ke bisnis yang masih baru, belum ada data historisnya, belum ada data demografisnya misalkan, boleh jadi lebih sesuai dengan pendekatan “Bagaimana Nanti”. Atau rencana yang bersifat non stratejik yang nilai risikonya tidak besar, mungkin cukup langsung dijalankan saja.

Namun demikian, rencana yang dijalankan dengan pilihan sikap “Bagaimana Nanti” ini tetap perlu didokumentasikan, ditarik pembelajarannya, agar berbagai kesulitan atau masalah yang terjadi dapat diantisipasi pada kesempatan berikutnya.

Kesediaan untuk mendokumentasikan berbagai masalah yang terjadi inilah yang memerlukan kebesaran jiwa dan keyakinan bahwa setiap kesulitan pasti ada hikmah dan pembelajarannya agar kedepannya kita akan lebih baik.

Selamat berefleksi!

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Ichsan Syarifudin

Leave a Reply

Your email address will not be published.