Yang Lebih Penting dari Memperkirakan Skill untuk Masa Depan
Dinamika zaman menuntut manusia memahami berbagai macam keterampilan (skill) untuk dapat bersaing di masa depan. Berbagai penelitian menyebutkan skill tersebut misalnya: keterampilan berpikir kritis, berpikir analitis dan inovatif, kecerdasan emosional, menguasai teknologi dan big data, menguasai complex problem solving, dan lain sebagainya.
Di Indonesia sendiri Pemerintah dan Institusi Pendidikan menerjemahkan skills tersebut ke dalam bentuk kompetensi, sertifikasi, dan modul pelatihan. Misalnya untuk melatih berpikir kritis dibutuhkan pengajaran dalam bentuk case study dan simulasi; untuk berpikir analitis, complex problem solving, dan inovatif dibutuhkan topik system thinking; memahami teknologi dan big data dibutuhkan topik operation research, statistics, programming.
Semua strategi tersebut adalah benar dan sesuai antara kompetensi yang ingin dituju dan topik yang diajarkan. Kenyataannya, masyarakat Indonesia masih sulit bersaing. Mungkin karena memang butuh waktu untuk menginternalisasi keterampilan tersebut. Atau mungkin proses pengajarannya yang masih perlu diperbaiki, atau mungkin dasar-dasar manusia Indonesia untuk menguasai keterampilan tersebut masih minim.
Yang perlu kita pahami disini adalah bahwa setiap keilmuan dan keterampilan merupakan bentuk evolusi dari keilmuan dan keterampilan yang sudah ada sebelumnya.
Ada tiga contoh yang akan disampaikan di sini. Pertama, keilmuan big data sebenarnya kombinasi dan perkembangan dari keilmuan marketing research, statistics, dan programming. Karena data yang diperoleh manusia melalui teknologi semakin melimpah, maka perlu integrasi dari 3 keilmuan tadi untuk mengolahnya. Dan istilah terbaik yang dapat dipakai adalah “big data”. Bayangkan kalau integrasi keilmuan tersebut diberi istilah “integrated marketing research and statistics”, ini akan terlalu panjang dan kurang menarik kedengarannya.
Kedua, konsep investasi, surat utang negara, asuransi. Ketiganya merupakan bentuk inovasi dari konsep Net Present Value (NPV) yang sudah lama ditemukan manusia. Masih banyak lagi turunan dan evolusi dari konsep NPV ini.
Ketiga, sistem sertifikasi ISO merupakan bentuk evolusi dari sistem FMEA (Failure Mode Effect Analysis) yang awalnya diadopsi dari pemeriksaan persenjataan di militer, kemudian berevolusi dan diadaptasi untuk sistem pemeliharaan mesin produksi. Evolusi berikutnya adalah adopsi sistem ini kepada sistem operasi jasa/layanan dalam bentuk ISO 9001.
ISO 9001 yang terbaru, yaitu versi 2015 yang berbasis Risiko, juga merupakan bentuk evolusi dari versi sebelumnya, yaitu versi 2008. Pada versi 2008 terdapat klausul 8.5.2. (Tindakan Perbaikan/Corrective Action) dan klausul 8.5.3. (Tindakan Pencegahan/Preventive Action) yang sebenarnya merupakan “jiwa” dari strategi mitigasi Risiko. Sehingga, peralihan dari ISO 9001 versi 2008 ke versi 2015 bukanlah sebuah lompatan yang jauh (quantum leap) jika organisasi sudah memiliki “jiwa” mengelola Risiko.
Kalau kita perhatikan gejala di kehidupan manusia, masih ada banyak contoh evolusi keilmuan atau keterampilan lain. Begitu juga keilmuan di masa depan bukanlah sebuah lompatan kuantum, melainkan evolusi ke arah yang lebih baik (dan rumit) dari keilmuan yang sudah ada sejak dulu.
Dengan pandangan “keterampilan yang berevolusi” inilah, maka seharusnya kita menguasai dasar dan kerangka berpikir, memahami konteks, dan “jiwa” dari setiap keterampilan, supaya kita bisa beradaptasi dengan evolusi berikutnyadari sebuah keilmuan (dan keterampilan).
Ajarilah manusia dasar-dasar berpikir kritis, kreatif, analitis, kuantitatif, dan semua “jiwa” dari segala keterampilan agar mampu menguasai evolusi keilmuan.
Masa terbaik untuk mengajarkan ini adalah di jenjang Sekolah Dasar, ketika otak manusia masih memiliki potensi yang besar untuk belajar. Selain itu, output dari Sekolah Dasar menjadi input bagi Sekolah Menengah. Output Sekolah Menengah menjadi input bagi Perguruan Tinggi. Dan output dari Perguruan Tinggi menjadi input bagi berbagai jenis pekerjaan yang akan memerlukan segala keterampilan di masa depan. Maka input paling dasar dan paling awal adalah jenjang Sekolah Dasar.
Bagaimana mungkin kita menuntut seseorang memiliki keterampilan berpikir kreatif dan bisa berpikir bebas jika sejak Sekolah Dasar dirinya sudah diharuskan “taat”, “patuh”, “guru dan orangtua selalu benar”. Justru secara tidak sadar, lingkungan sudah membatasi cara pikirnya.
Dengan kondisi seperti ini, bentuk kompetensi, sertifikasi, pelatihan, seminar, simulasi, dan metode apapun sulit untuk menggali potensi maksimal seseorang untuk kreatif.
Sulit bagi masyarakat Indonesia secara umum bersaing tentang berpikir kreatif jika lingkungan pendidikannya bertolak belakang dengan masyarakat di negara lain yang mendukung kebebasan berpikir. Begitu juga untuk bersaing di keilmuan lain, masyarakat Indonesia masih akan tertinggal jika lingkungannya masih tidak mendukung
Maka hal yang lebih penting alih-alih membahas “keterampilan apa yang dibutuhkan di masa depan?” namun lebih penting membahas harus ada perubahan cara pandang dan cara mendidik dari tenaga pendidik, orangtua, siswa, masyarakat, Pemerintah, dan semua stakeholder lainnya.
*Tulisan ini dimuat di SWA Online