Inisiasi Logistik Militer Rusia: Hancurkan Fasilitas
“The greatest victory is that which requires no battle.”
Sun Tzu (± 500 SM)
Pada awal invasi Rusia ke Ukraina Februari 2022 lalu, tindakan awal militer Rusia adalah menghancurkan berbagai fasilitas (sebagai titik penyimpanan inventori) dan jaringan infrastruktur (sebagai media pengiriman inventori ke lokasi tujuan).
Dari informasi Kementerian Pertahanan Rusia, hanya beberapa hari setelah Rusia menginvasi Ukraina, Rusia mengklaim telah melumpuhkan 118 infrastruktur militer di Ukraina, termasuk 11 lapangan udara, 13 pos komando dan pusat komunikasi angkatan bersenjata Ukraina, 14 sistem rudal anti-pesawat, dan 36 stasiun radar. Ukraina sendiri dengan sengaja menghancurkan semua jembatan yang menuju kota Kiev untuk menghambat pergerakan tantara Rusia menuju Ibukota Kiev.
Strategi menghancurkan fasilitas dan infrastruktur di awal masa perang juga diterapkan pada banyak perang, misalnya ketika Amerika menginvasi Irak tahun 1991 dan Amerika menginvasi Afghanistan tahun 2002.
Dalam ilmu Logistik, elemen fasilitas ini terdiri dari pabrik, gudang, pelabuhan, yaitu fasilitas fisik untuk memproduksi dan menyimpan produk. Berbagai fasilitas ini untuk kebutuhan Logistik Militer adalah lokasi penyimpanan inventori untuk kebutuhan perang, misalnya peralatan perang, senjata, makanan, obat-obatan, pakaian perang, tenda, selimut, bahan bakar untuk kendaraan perang, infrastruktur komunikasi, dan lainnya.
Ketika fasilitas ini dihancurkan, artinya berbagai peralatan perang lawan sudah hancur sebelum perang mencapai masa puncak. Tentara yang sangat terlatih pun tidak akan mampu berperang ketika tidak tersedia makanan untuk dirinya dan bahan bakar untuk menggerakkan kendaraan perang. Peralatan perang paling canggih pun tidak dapat digunakan untuk perang jika tidak tersedia bahan bakar, sistem komunikasi dan kendali.
Kita perlu paham bahwa Logistik adalah perihal perpindahan inventori melalui proses distribusi dan jaringan transportasi. Inventori ibarat darah manusia sebagai sumber daya yang dikelola di dalam jaringan logistik. Sementara itu, jaringan transportasi adalah pembuluh darah/nadi yang menjadi media pergerakan sel darah. Ketika pembuluh ini tersendat karena lemak ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik karena berbagai alasan, sel darah pun tidak akan mengalir lancar.
Maka, jaringan logistik dan strategi efisiensi rute dapat terwujud hanya jika infrastruktur transportasi tersedia dalam kondisi baik dan mendukung proses perpindahan. Di sini kita lihat bahwa ada syarat kondisi dan asumsi dasar yang harus dipenuhi untuk mencapai efisiensi proses logistk. Ketika kondisi dan asumsi (yaitu jaringan dan infrastruktur yang memadai) tidak tersedia, maka proses distribusi dengan sendirinya tidak akan tercapai.
Sebesar-besarnya konsolidasi inventori untuk meminimalkan biaya logistik per unit (mencapai economy of scale), secanggih-canggihnya teknologi untuk strategi cross-docking, sehebat apapun kompetensi tenaga kerja, semua ini tidak akan berjalan ketika infrastruktur transportasi hancur.
Setelah kehancuran jaringan infrastruktur selama perang, inventori akan tersimpan dalam waktu yang tidak menentu. Ini berarti ada modal inventori yang mengendap. Selama penyimpanan yang tidak menentu ini, tidak terjamin pula proses pengawasan dan kontrol inventori, sehingga dapat menyebabkan kerusakan produk atau telah melewati masa kadaluarsanya. Secara pemanfaatan, mungkin bisa kita asumsikan bahwa usia produk ini dengan cepat mencapai siklus decline karena tidak jelas kapan akan digunakan atau tidak akan pernah bisa digunakan lagi.
Kemungkinan lain dari kehancuran fasilitas adalah militer penginvasi akan mengambil alih seluruh inventori yang masih dapat dimanfaatkan, seperti bahan makanan, bahan bakar, peralatan perang, obat-obatan, tenda, selimut, dan lainnya. Tentara dan kendaraan perang tidak bisa lagi bergerak secara optimal.
Dengan tidak tersedianya inventori dan dukungan logistik, kekuatan lawan dapat dipatahkan dengan korban dan pertempuran yang minim.
*Artikel ini tayang di SWA Online