Workation, Peluang Menjanjikan bagi Bisnis Pariwisata
Imbauan pemerintah untuk melakukan kerja dari lokasi wisata (workation) menjadi sebuah angin segar bagi peningkatan kinerja bisnis pariwisata pasca gempuran krisis COVID-19. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Pandjaitan, bahkan secara aktif mengajak para pegawai untuk melakukan workation guna mendukung pariwisata.
Lebih lanjut, beliau mengajak aparatur sipil negara yang berada di bawah koordinasi kementeriannya agar turut aktif terlibat dalam imbauan bekerja dari Bali. Gayung bersambut, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga mengamini pernyataan Menko Luhut tersebut.
Komitmen pemerintah dalam mendukung kebangkitan pariwisata Indonesia “selepas” krisis pandemi ini patut diapresiasi. Para pelaku pariwisata pun juga turut bereaksi. Kesiapan dan kesigapan mereka dalam menyambut tren pariwisata baru ini juga harus disesuaikan dengan segala konsekuensi kebutuhannya.
Peluang yang menjanjikan dari target konsumen yang spesifik ini sejatinya bisa menjadi sebuah loncatan omzet bagi bisnis penginapan yang sangat terpukul akibat pandemi yang berkepanjangan. Namun, inovasi layanan harus segera disesuaikan, karena segmen pasar yang spesifik ini juga memiliki kebutuhan yang spesifik pula.
Gegap gempita pelaku usaha harus diikuti dengan aksi nyata, adaptasi layanan baru untuk menjangkau segmen pasar yang baru pula. Walau sudah ada imbauan dari pemerintah, tapi jika pelaku usaha tak mampu merespons dengan aksi nyata, maka peluang ini akan bisa hilang begitu saja.
Istilah workation mungkin tidak sepopuler kata staycation (liburan di hotel) yang sudah lebih dulu dikenal masyarakat Indonesia. Dari literatur bahasa, istilah Workation bahkan sudah digaungkan sejak tahun 1948 silam di Amerika Serikat untuk menggambarkan kegiatan berkerja di masa liburan.
Kata ini dimuat pada Koran Associated Press yang memberitakan sebuah kebijakan dewan pendidikan di sebuah kota kecil di Amerika tentang bekerja di masa liburan. Pada saat itu, pemerintah memberikan izin pada guru dan siswa untuk bekerja di ladang pertanian walau pada masa libur sekolah guna mengantisipasi ancaman panen karena cuaca buruk yang menimpa wilayah mereka.
Istilah ini semakin populer seiring berkembangnya kemajuan teknologi sehingga memudahkan para pegawai kantor untuk bisa bekerja dari jarak jauh atau bahkan di mana saja. Di benua Eropa, istilah bekerja (work) dan liburan (vacation) atau workation ini juga populer dengan sebutan Workcation.
Bahkan, sebagian orang juga menyebutnya ‘Woliday’ yang merupakan perpaduan antara work dan holiday. Apapun itu penyebutannya, tren bekerja sambil menikmati suasana liburan menjadi sebuah gaya hidup baru di kalangan pekerja di berbagai sektor bisnis di banyak belahan dunia. Tentu saja, pandemi COVID-19 ini diprediksi akan semakin mempopulerkan tren workation ini hingga beberapa waktu ke depan.
Jelas sudah bahwa dalam konsep workation, intensi kehadiran pelancong tidak sepenuhnya untuk berwisata, namun juga harus memenuhi tuntutan bekerja sembari menikmati suasana di lokasi yang mereka kunjungi. Para pelaku workation ini juga bukan pula para pebisnis eksekutif yang membutuhkan layanan berkelas tinggi yang biasa disajikan di hotel-hotel berbintang. Konsep ini yang harus dicermati betul oleh para pelaku usaha. Para turis workation ini sangatlah berbeda dengan para pelancong yang biasa mereka layani.
Layanan jasa bagi para turis workation ini harus disesuaikan dengan kebutuhan dan perilaku kerja dan liburan mereka. Pelaku bisnis pariwisata harus mampu beradaptasi dengan perubahan layanan ini. Dari segi waktu, para turis workation ini hanya memiliki waktu luang terbatas untuk menikmati produk wisata di lokasi tujuan.
Bahkan, dalam waktu yang terbatas itu pula, mereka hanya memiliki durasi singkat untuk menikmati layanan yang ada. Oleh karena itu, para pelaku usaha harus bisa memanfaatkan waktu yang singkat ini untuk menyuguhkan layanan jasa yang mereka miliki.
Pertunjukan seni dengan durasi hingga sekian jam mungkin tidak cocok dengan segmen turis ini. Begitu pula dengan objek wisata yang menguras energi seperti trekking dan wisata alam, bisa jadi bukan lagi pilihan utama bagi mereka. Layanan Spa, pijat, yoga, meditasi, dan beberapa aktivitas serupa lainnya mungkin bisa jadi alternatif bagi kebutuhan segmen pasar ini.
Intinya, para turis ini lebih memilih produk wisata yang bisa dinikmati dalam durasi singkat namun mampu mengembalikan semangat dan energi positif mereka guna melanjutkan pekerjaan.
Para turis workation ini tentunya akan selalu terhubung dengan berbagai gawai penunjang pekerjaan mereka. Kebutuhan pada koneksi listrik dan jaringan internet menjadi sarana wajib yang tak dapat dilupakan. Manajemen hotel harus bisa memahami ini dengan baik. Stabilitas sinyal internet di seluruh sudut properti harus dioptimalkan.
Para turis ini tidak hanya bekerja di kamar atau lounge hotel saja, tapi bisa jadi mereka juga membutuhkan jaringan internet di dekat kolam renang, taman bunga, dan bahkan rooftop hotel yang bisa menjadi sudut inspirasi mereka.
Jaringan internet harusnya bukan lagi layanan ekslusif yang ditagihkan sekian rupiah untuk mengaksesnya. Jika hal ini tak segera diantisipasi oleh manajemen hotel, maka kesiapan mereka untuk menyambut turis workation ini tak akan pernah nyata.
Variasi pada produk food & beverages (F&B) juga menjadi tantangan bagi para manajemen hotel dan penyedia jasa restoran. Turis workation ini tentunya akan tinggal di sebuah lokasi wisata dalam jangka waktu yang relatif lama. Oleh karena itu, kebutuhan mereka pada variasi makanan dan minuman akan sangat tinggi.
Turis ini akan mencari sensasi baru dalam memenuhi pengalaman workation terbaik mereka. Pelaku usaha harus mampu melihat ini dengan jeli. Jangan hanya menawarkan menu yang sama sehingga turis merasa bosan dan monoton dengan rasa yang ada. Hadirkan sensasi bagi selera mereka.
Peluang pasar yang menjanjikan ini bisa menjadi alternatif cara untuk meningkatkan geliat bisnis pariwisata tanah air di masa pandemi ini. Kolaborasi antarsektor yang terkait harus senantiasa ditingkatkan.
Namun, komitmen inovasi dari pelaku usaha harus lebih dulu ditekankan guna membangkitkan optimisme sektor potensial ini. Prinsip ekonomi harus selalu diingat, jangan sampai demand yang tinggi pada gaya turis workation ini, tidak didukung oleh supply yang sesuai dari para pelaku usaha pariwisata. Ikhtiar kita bersama untuk mewujudkannya.
*Tulisan ini dimuat di SWA Online