India: The Next Big Thing
Awal tahun 2021 Tesla memutuskan untuk memilih India sebagai lokasi produksi dan pusat teknologi mobil listrik di luar Amerika. Alasan Tesla yang utama adalah karena ketersediaan ahli teknologi di India yang melimpah. Ingat, Tesla adalah produk teknologi, bukan produk konsumsi. Sehingga hal penting yang menjadi pertimbangan Tesla tentunya kemampuan teknologi rakyat sebuah negara di mana Tesla akan beroperasi.
Menurut Archandra Tahar (Wakil Menteri ESDM RI), jika Tesla ingin mengembangkan technology center di luar Amerika dengan ekosistem yang mendekati Silicon Valley, maka pilihan terbaik adalah Tel Aviv (Israel) dan Bangalore (India). Ketersediaan sumber daya manusia di bidang IT (Information Technology) di kedua lokasi tersebut sangat melimpah.
Bangalore sendiri menjadi pusat pengembangan teknologi banyak perusahaan besar, seperti Mercedes-Benz, General Motors, Continental, Bosch, Delphi and Volvo. Di Tel Aviv sendiri sudah menjadi pusat pengembangan teknologi bagi Intel, IBM, Google, Facebook, Hewlett-Packard, Philips, Cisco Systems, Oracle Corporation, SAP, BMC Software, Microsoft, dan Motorola.
Perbedaannya, India menawarkan akses kepada pasar yang sangat besar, yaitu sebagai negara dengan jumlah penjualan mobil keempat terbesar di dunia. Ditambah dengan pendapatan per kapita India sebesar USD 2.000 pada tahun 2019 (lebih rendah dibandingkan Indonesia yang sebesar USD 4.100) biaya tenaga kerja di India pun jauh lebih murah dibandingkan Israel.
Mengapa bisa ada begitu banyak ahli teknologi di India?
Jawabannya adalah konsentrasi pembangunan pada pendidikan. Pada tahun 1956, Perdana Menteri Nehru mendirikan Indian Institutes of Technology (IIT) yang menyebar di berbagai kota di India dengan kualitas yang setara. Tujuannya untuk membuka peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat India untuk belajar. Sampai dengan tahun 1960an sudah ada 6 IIT di India. Pada tahun 2016 sudah ada 23 IIT di seluruh penjuru India.
Ditambah dengan semangat belajar tinggi dan kemampuan Bahasa Inggris di atas rata-rata orang Asia, IIT sudah menghasilkan banyak CEO perusahaan besar dan profesor di kampus besar Amerika. Sebut saja Sundar Pichai (CEO Google) alumni IIT Kharagpur, Arvind Krishna (CEO IBM) alumni IIT Kanpur, Nitin Nohria (Dekan Harvard Business School periode 2010-2020) alumni IIT Bombay, Pradeep Khosla (professor Komputer di Carnegie Mellon) alumni IIT Kharagpur. Tentunya peran mereka dapat dimanfaatkan sebagai peluang membangun jaringan.
Dengan modal tersebut, India berpotensi menciptakan (create) lokasi geografis menjadi strategis karena India berada di antara hub Asia Tenggara (Singapura) dan hub Timur Tengah, yaitu Qatar (Pelabuhan Doha dan Bandar Udara Hamad) dan Dubai (Pelabuhan Jebel Ali dan Banda Udara Dubai).
Qatar dan Doha adalah contoh lokasi di mana hub dan faktor geografis diciptakan (created), bukan “disediakan alam” (given) seperti konsep “terletak di antara dua benua dan dua samudera”. Dua lokasi yang dulunya berupa gurun disulap menjadi titik penghubung dan kawasan industri.
Selain itu, India dapat memanfaatkan posisinya yang berada di antara Indonesia (dengan kekayaan alam melimpah) dan Afrika (sebagai alternatif kawasan industri masa depan). Bisa dibayangkan jika sumber daya alam Indonesia dikirim ke Afrika untuk produksi, dengan desain produk dan research and development (innovator) dikerjakan oleh India. Maka Indonesia hanya berperan sebagai penyedia raw material.
Dan kita tahu, di dalam jaringan Supply Chain, posisi “penyedia raw material” dibandingkan innovator adalah memperoleh keuntungan jauh lebih sedikit, memiliki peran lebih kecil, akibatnya tidak memiliki daya tawar tinggi dalam perdagangan dunia, alhasil hanya dipandang sebelah mata.
Kita lihat bahwa India tidak hanya mengandalkan jumlah penduduk yang besar dan tenaga kerja murah sebagai keunggulan utama sebagai lokasi investasi. Tapi penekanan pada keterampilan sumber daya manusia dan lokasi strategis yang created, bukan given.
Di masa depan, kriteria pemilihan lokasi investasi sudah tidak bisa lagi mengandalkan tenaga kerja murah, pajak rendah, faktor alam dan geografis yang given. Dunia sudah terintegrasi. Global Value Chain sudah semakin menunjukkan jati dirinya. Keuntungan dari faktor geografis tidak dapat lagi bersandar pada faktor given, tapi pada faktor created.
Jika Indonesia ingin bersaing di masa depan, kita harus mulai tinggalkan mentalitas mengandalkan faktor alam (given), tapi persiapkan sumber daya manusia sebagai innovator. Indonesia harus mendorong sumber daya manusianya memiliki semangat belajar tinggi, meningkatkan literasi, bahkan keserakahan dalam memperoleh pengetahuan.
Indonesia perlu menciptakan suatu kelebihan yang created, karena tidak bisa selamanya bergantung pada faktor alam. Jika tidak, Indonesia akan selalu berada pada posisi “penyedia raw material” dalam jaringan Global Value Chain.
*Tulisan ini dimuat di SWA Online