Penyelewengan Wewenang di Organisasi Akibat Mental Miskin

Penyelewengan Wewenang di Organisasi Akibat Mental Miskin

n a country well governed, poverty is something to be ashamed of
In a country badly governed, wealth is something to be ashamed of
(Confucius, ±
500 SM)

Pernahkah Anda mendengar dari perusahaan lain, atau bahkan melihat di perusahaan sendiri ketika seorang pemimpin memanfaatkan wewenangnya untuk keuntungan pribadi? Misalnya dengan menyewakan kendaraan pribadi ke kantor, mark-up pengadaan furniture kantor (apalagi tanpa proses tender), reimburse ke kantor untuk biaya perjalanan yang tidak terkait pekerjaan.

Individu dan organisasi memiliki mindset, locus of power, kebiasaan, yang akhirnya membentuk budaya kerja, cara pandang, dan sikapnya. Semua ini memengaruhi bagaimana seseorang dan organisasi mengambil keputusan. Semua keputusan yang dijalankan tentu akan memengaruhi keberhasilan organisasi dan bagaimana karyawan memandang pemimpinnya.

Organisasi sebagai perkumpulan manusia mencakup organisasi sosial, perusahaan, bahkan negara. Di negara yang dikelola dengan baik, para pemimpin negara akan mengambil keputusan yang benar untuk rakyatnya. Mereka akan menyediakan akses yang cukup untuk pendidikan dan kebutuhan sehari-hari. Sehingga, rakyat yang malas belajar dan bekerja dan menjadi miskin, mereka yang tidak bekerja ini dipandang memalukan oleh masyarakatnya.

Sebaliknya, di negara (dan organisasi perusahaan) yang dikelola dengan salah, maka pemimpin pun akan membuat keputusan yang salah. Rakyat (dan karyawan di perusahaan) sulit memperoleh akses kepada kesejahteraan, sehingga mereka yang sejahtera akan nampak memalukan.

Akan ada yang bertanya “Darimana mereka mendapat kekayaan itu?”, “Lihat, ada karyawan yang membawa mobil mewah”. Semua hal terkait kesejahteraan akan dipertanyakan dengan sinis karena si penanya mengalami bahwa tidak mungkin memperoleh kesejahteraan tinggi jika bekerja di perusahaannya. Si penanya tidak bijak dan tidak mempertimbangkan bahwa karyawan mampu memperoleh kesejahteraan dari sumber lain, misalnya memiliki usaha sendiri di luar perusahaan.

Sikap, cara pandang, dan mental miskin ini berpotensi diteruskan kepada generasi selanjutnya. Mental inilah yang harus dipotong dan dihapus demi masa depan organisasi yang lebih baik.


Berikut ini adalah beberapa sikap dan tindakan dari pemimpin yang menunjukkan mental miskin di organisasi dan perusahaan:

  1. Pemimpin memahami situasi di perusahaan dan mengendalikan kontrol yang diterapkan dengan lemah di perusahaannya.
  2. Pemimpin memposisikan diri sebagai teladan di perusahaan agar karyawan percaya kepada mereka. Pemimpin pun percaya kalau mereka mampu melewati semua tantangan.
  3. Pemimpin sebenarnya menerima feedback dari bawahan terkait pekerjaan dan kemajuan bawahan, tapi tidak membutuhkan validasi atas tindakannya dalam melakukan penyelewengan wewenang.
  4. Pemimpin berani mengambil risiko secara halus. Mereka paham apa yang dilakukan, dan percaya bahwa mereka dapat mengendalikan sistem dan karyawan di sekitar mereka.
  5. Pemimpin mengajak pemimpin lain di perusahaan dalam melakukan penyelewengan wewenang karena mereka paham tidak mungkin melakukannya sendirian. Mungkin mereka berpikir, kalaupun suatu hari tindakan mereka ketahuan, tidak akan malu sendirian.

Selain beberapa sikap di atas, kita juga dapat melihat berbagai tindakan sehari-hari yang semakin menunjukkan mental miskin dari seorang pemimpin, misalnya:

• Fokus pada cost cutting, namun tidak ahli dalam meningkatkan pendapatan secara signifikan (business as usual). Misalnya, berhemat pengeluaran air minum karyawan melalui supplier yang lebih murah, namun margin keuntungan kecil dan menurunkan standar kesehatan. Cost cutting merupakan tahap cost reduction yang paling rendah dan tidak membentuk budaya improvement (Geyer, 2007).

• Mentoleransi kinerja karyawan medioker karena tidak tersedia dana merekrut karyawan dengan gaji tinggi. Jika ada hambatan biaya, seharusnya tidak meningkatkan tolerenasi kepada karyawan medioker.

• Kurang visi dan eksekusi akan masa depan organisasi. Visi dan rencana kerja memang ditetapkan untuk beberapa tahun ke depan, namun menjelang beberapa tahun ini habis, dirancanglah rencana kerja yang baru yang tidak sejalan dengan rencana beberapa tahun sebelumnya, bahkan terkesan memulai rencana baru dari nol (0) atau “mulai dari awal” lagi.

• Menerima pekerjaan dari konsumen yang margin keuntungannya rendah, karena ingin mencegah “leaving money on the table”. Sayangnya alokasi sumber daya tidaklah proporsional sesuai beban pekerjaan dengan margin tinggi dan rendah.

Lalu, bagaimana solusinya? Organisasi harus menyadari mindset miskin ini. Mental ini bukanlah realitas, dan mulailah memandang tujuan keberhasilan organisasi. Perlu ada perubahan mental dari pemimpin dan karyawan, tempatkan karyawan dengan mental positif pada posisi yang tepat. Karena mental yang baik menghasilkan keputusan yang baik. Sebaliknya, mental buruk menghasilkan keputusan yang buruk pula.

*Tulisan ini dimuat di BUMN Track Online

Ricky Virona Martono

Leave a Reply

Your email address will not be published.