Experiential Learning, Apakah Hanya Cukup Belajar dari Pengalaman?

Experiential Learning, Apakah Hanya Cukup Belajar dari Pengalaman?

Sudah menjadi pemahaman bersama dalam dunia kerja, pada konteks kebutuhan kompetensi, bukan hanya hard kompetensi yang dibutuhkan, namun juga soft kompetensi, yakni hal-hal terkait kerjasama tim, kreativitas, disiplin, kejujuran, komitmen, tanggungjawab, rasa percaya diri, etika, sopan santun, komunikasi, kepemimpinan, dan dewasa ini mungkin kita sudah sering mendengar entrepreneur soul.

Sangat umum kita dengar bahwa perusahaan mengembangkan para talentanya agar mampu mendukung pencapaian sasaran perusahaan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Namun rasanya kita sepakat bahwa pengembangan talenta harus mengacu pada tujuan bisnis atau yang lebih dikenal dengan business oriented goals. Pertanyaan bagi perusahaan adalah,  di tengah teknologi yang semakin berkembang dan kemudahan sumber belajar, metode pengembangan apa yang efektif untuk pengembangan soft skill para talenta?

Dua dekade ke belakang dunia pendidikan ramai dengan istilah Experiential Learning (EL). Namun sebenarnya EL bukanlah sebuah pendekatan baru, sejak tahun 1930 John Dewey seorang filsuf dan pendidik di Amerika Serikat memprakarsainya. Semakin populer saat Carl Rogers tahun 1970 menggunakannya dalam sebuah metode konseling. EL meledak manakala David Kolb memperkenalkan “Kolb’s Experiential Learning Cycle”. Sejak itu EL  banyak diterapkan di pelbagai lembaga pendidikan bahkan perusahaan dalam program pelatihan untuk karyawannya.

Di PPM Manajemen, EL yang merupakan metode yang pembelajaran dari pengalaman namun berfokus pada konten based. Sehingga desain pembelajaran sudah berbasis konseptual yang sesuai dengan soft kompetensi yang dikembangkan. Metode pembelajaran ini sudah efektif diterapkan sejak 8 tahun lalu dan sampai saat ini pun masih terus dikembangkan dengan sasaran menyesuaikan dengan kebutuhan pengembangan karyawan di setiap perusahaan.

“Perkembangan teknologi membuat opsi pembelajaran semakin mudah diakses, Chat GBT, AI, VR, atau teknologi lainnya dapat dipilih namun tantangannya adalah ketepatan pengembangan bagi sasaran perusahaan. Sedangkan dalam pengembangan soft skill yang harus dilibatkan adalah penggabungan kemampuan kognitif, afektif dan konatif. Pada aspek emosi dalam tahap pembelajaran inilah banyak dilatihkan dalam metode EL” ujar Meinita Nurul R, Kepala Divisi Pembelajaran Inggriya dan learning designer PPM Manajemen dalam keterangan pers-nya.

Biasanya, pelatihan berbasis EL menyasar soft kompetensi, jadi kalau bicara penting tidaknya metode tersebut kita bisa melihat dari seberapa pentingnya soft kompetensi harus dipunyai oleh seseorang seperti kemampuan berinisiatif, bekerjasama, memimpin sebuah tim, perencanaan kerja, berorientasi pada kualitas kerja, teknik bernegosiasi, kecakapan komunikasi, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan belajar dari pengalaman, mentoring dan mengembangkan orang lain, dan lain sebagainya yang semua itu seyogyanya dimiliki atau harus diasah oleh setiap pribadi.

Disampaikan pula oleh Titis Setyawardani selaku Manajer Penjualan dan Learning Designer Divisi Pembelajaran Inggriya, mengimplementasikan metode ini tentu saja berjangkar pada kebutuhan kompetensi yang ingin dikembangkan oleh klien. Tidak hanya soft kompetensi, namun juga pada kebutuhan hard kompetensi pun bisa dikembangkan dengan metode EL ini.

Diawali dengan memahami kompetensi yang ingin dikembangkan, sadar definisi kompetensi serta perilaku kuncinya, kemudian para pendesain pembelajaran akan melakukan diskusi untuk menurunkannya ke dalam silabus dan modul pembelajaran. Setelah itu, dilanjutkan dengan diskusi untuk menentukan alur pembelajaran yang sesuai kebutuhan serta menentukan aktivitas-aktivitas yang sekiranya dibutuhkan dalam rangkaian pembelajarannya.

Ketika sudah dapat dipastikan, maka pendesain pembelajaran akan berkolaborasi dengan SME (subject matter expert) untuk menyusun materi, bisa berupa PPT, kasus, video, artikel, dan lain-lain. Biasanya, kebutuhan pengembangan kompetensi antar satu perusahaan dengan perusahaan lainnya akan berbeda, sehingga metode EL yang diterapkan bisa jadi berbeda sesuai kebutuhan setiap pesertanya. Dalam implementasi metode EL ini, tahapan refleksi pembelajaran terstruktur oleh lead fasilitator mengenai konten dan peran behavior coach dalam pemaknaan terhadap tuntutan kompetensi yang akan dikembangkan merupakan tahap kritis agar pembelajar mampu menginternalisasi pengalaman dengan pekerjaan mereka.

“Pastinya banyak ilmu-ilmu baru yang didapatkan dari EL di PPM, yang berkesan adalah tentang winning mindset yang bisa ditumbuhkan dan dipakai dalam bekerja sehari-hari. Kehadiran coach dalam tiap-tiap kelompok memberikan insight tersendiri. Jadi antara teori dan praktik sejalan.” kata Anwar Rasyid Yuwono, salah satu peserta dari  Talent Leader Program Batch 3 Tahun 2023 PT Pegadaian.

Komunikasi Korporat

Leave a Reply

Your email address will not be published.